File 2 : Nomor 23

16.4K 1K 23
                                    

Entah apa yang ada dipikirannya. Tugas masih segunung, tapi ia tetap saja mencuri waktu. Sambil menggenggam sepucuk kertas lecek yang ia catat dari unit intel, pemuda itu menyusuri jalan. Melewati gang demi gang, memeriksa rumah demi rumah.

"Nomor 23!" gumamnya, mencocokkan alamat.

Gang Tikus Lama. Tetap lucu berapa kali pun, ia baca. Jalanan padat dipenuhi rumah-rumah kumuh tak tertata, ia tapaki. Komplek ramai itu berakhir pada jalanan tidak bersahabat, yang segera menyapa perjalanannya dengan kasar.

Rumput tinggi menjulang, sampai menutupi sepatu dinasnya. Jalanan berlubang-lubang. Tak jarang, kakinya sampai terperosok. Bibir yang sudah kering kerontang semakin menekuk, melihat sekeliling yang kian sepi. Rain sempat kecewa, sebelum menemukan sebuah bangunan berbentuk persegi. Bangunan tua terbengkalai bercat biru itu terletak di pinggir jalan.

"Sepertinya masih ada sambungan kabel di situ."

Rain mengendap-endap, memeriksa penuh curiga.

Sisi demi sisi, sudut demi sudut, hingga seutas kabel hitam ia temukan, dibalik kaca buram berstiker merah darah. "Wartel," begitulah tulisannya. Temuan itu membuatnya semakin yakin; itu hanyalah sekedar telepon iseng belaka.

"Jangan-jangan dari sini?" tebaknya.

Rain menggeleng. Tak puas rasanya bila bangunan bernomor 23 yang tertulis dalam catatan, belum dia temukan.

Namun, apa yang ada di depan sana sebenarnya?

Semakin jauh merengkuh langkah, jalanan justru semakin sepi dan lebih sunyi. Rumah-rumah yang semula padat kian jarang terlihat. Tersisa bangunan-bangunan aneh tidak terawat, yang membuat tempat itu kelihatan seperti kota mati.

"Buang-buang waktu saja!"

Tepat di ujung perempatan jalan, Rain berhenti.

Di tempat itu, sampah bertebaran. Tanah tempatnya menapakkan kaki adalah sebuah kubangan. Ujung kirinya, bahkan masih digenangi air kotor. Semen pembatas trotoar sudah rontok tidak karuan. Cat merah dan hitam di sisi luar pembatas pun, hampir tidak tersisa. Hebatnya, itu bukanlah yang terburuk. Saat hendak berbalik, rumput liar menyandung kakinya, sehingga membuatnya jatuh terpelanting. Ia merasa sangat kesal.

"Sial, mereka membodohiku!" umpatnya.

Rasa penasaran yang semula menggelora di dada lenyap seketika. Yang ada tinggal kekecewaan dan amarah. Kekesalan tumpah saat berusaha bangkit, tapi matanya menangkap gambaran jelas sebuah bangunan tua, tepat di ujung perempatan.

"Tempat apa ini?" pikirnya.

Terlanjur basah dan tidak ingin pulang dengan tangan kosong, Rain mendekati bangunan itu. Tembok menjulang tinggi, mengitari bangunan itu. Sayangnya, gerbang besi karatan besar menahan langkahnya, karena terkunci rapat.

Halaman luas dipenuhi pepohonan rindang terlihat dari luar. Cat putihnya pudar dan terkelupas. Tempat itu kelihatan sangat mengerikan. Anehnya, justru di sanalah nomor bangunan yang dia cari-cari ditemukan.

"23!"

Tangan berkeringatnya, perlahan meraba penanda angka itu. Warnanya abu-abu gelap, timbul, kurang rapi, serta menumpuk kotoran. Bahkan, seekor laba-laba dengan nyaman membuat sarangnya di tempat itu. Rain menggeleng tak habis pikir. Dia sangat ingin masuk dan menjelajah.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin seseorang melakukan panggilan dari sana?

Semakin diamati, ia justru merasa semakin bingung.

Tidak puas hanya memandangi, dia pun, memutarinya. Tembok dipenuhi lumut. Cat dasarnya, bahkan sudah tidak mungkin di reka-reka. Seperti kebanyakan bangunan terbengkalai, coretan-coretan tidak bermanfaat mengotori tempat itu. Bahkan, mereka membuat gambar dan tulisan tidak pantas di sepanjang tembok. Hebatnya konstruksi bangunan masih sangat kokoh. Berulang kali Rain menendang-nendang tembok, tapi hanya bergeming.

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang