File 46 : Kita Semua Benci Pekerjaan

3.9K 430 36
                                    

Jemari yang terasa perih seusai menggunakan mesin tik tua semakin jelas pengaruhnya. Cerah sinar mentari merangkak naik pun, semakin jelas kemilaunya. Pagi menuju siang. Waktu produktif terbaik bagi sebagian orang. Sayangnya, keringat yang terasa lengket di balik tengkuk rasanya sudah tidak nyaman lagi baginya. Pengaruh buruk malas mandi dan pola tidur tidak sehat akhirnya bersinergi, membuat Rain hendak beranjak. Akan tetapi, teguran dari Sang Pencipta sepertinya bukan itu saja.

Belum sampai sejengkal bokongnya terangkat, pintu tiba-tiba saja diketuk. Kursi kantor yang bentukannya sudah seperti mau amblas pun, seketika menariknya duduk lagi.

"Masuk!" serunya.

Sembari menunggu, ia memperhatikan telunjuknya yang sedikit tergores akibat terlalu lama menggunakan mesin tik.

Sepertinya, aku harus menghindari benda itu dulu, pikirnya.

"Lapor komandan, Pak Subhan datang menemui anda!" lapor seorang prajurit.

Pemuda itu hanya menggeleng, perasaan risih akibat keringat di tubuh rasanya semakin mengganggu begitu mendengar, seseorang akan menemuinya. Akan tetapi, menolak bertemu dengan alasan seperti itu rasanya terlalu konyol.

"Suruh masuk saja!" perintah Rain.

"Siap!" Si Prajurit.

"Selamat siang!" sapa Pak Subhan, masuk dan bergegas mengambil tempat duduk.

Rain pura-pura sibuk, memeriksa berkas laporan yang sudah selesai ia kerjakan.

"Siang, ada perlu apa ya, pak?" tanyanya.

"Berhubung kasus sudah selesai, saya ingin secara resmi memberikan laporan dan menyatakan tak akan ambil bagian lagi," jelas Pak Subhan.

"Bukankah anda baru saja sukses besar?" Rain.

"Bisa-bisa, saya mati berdiri kalau terus mengambil kasus seperti ini."

"Saya kira anda menyukainya."

"Yang benar saja."
...

Sidang terakhir.

Tanda tanya perihal alibi Indah akhirnya menemui titik terang. Sejumlah staf dan pegawai rumah sakit mulai vokal bersaksi melihat gadis itu memasuki ruang staff bersama Suster Ana. Seorang cleaning service bahkan, melihat langsung wanita itu membawa dua buah minuman ke sana.

"Sekitar jam sepuluh lewat, saya melihat Suster Ana yang sedang mencuci gelas," ungkapnya.

Dengan banyaknya saksi menyatakan itu, pada akhirnya Suster Ana mengakui semua itu. Walaupun demikian, pada akhirnya penasihat hukum masih membentur dinding tinggi berupa waktu pembunuhan.

"Walaupun terdakwa terakhir kali terlihat sekitar ja 10, pada akhirnya ia tetap tidak memiliki alibi yang kuat ketika waktu kejadian perkara," tuding jaksa.

"Kalau demikian, apakah ada yang melihat dia keluar dari sana setelahnya?" sahut penasihat hukum, "tidak ada bukan? Bukankah itu sudah cukup menjelaskan alibi terdakwa? Para saksi menyatakan melihatnya dalam keadaan pucat. Terdakwa juga mengaku tidak dalam kondisi sehat saat itu," lanjutnya.

"Kalau anda berkata demikian, bisakah anda membuktikan kalau terdakwa memang tidak pernah keluar dari sana?" tantang jaksa.

"Izin menyampaikan laporan hasil pemeriksaan penyidik, yang mulia!" seru penasihat hukum.

"Silahkan!" hakim.

Tim penasihat hukum menatap ke arah Pak Subhan yang sudah siap dengan berkas penyelidikan. Mereka saling mengangguk, isyarat mempercayakan kepadanya. Menanggapi amanah rekan-rekannya, Pak Subhan pun, mengambil alih.

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang