File 7 : Kasus Kedua

7.7K 653 29
                                    

“Oh, masih ada orang ternyata.“

Seorang pria gempal berpakaian rapi membuka pintu. Matanya tertuju ke arah sosok pemuda yang tengah sibuk mengerjakan tugas seorang diri. Sementara, Rain yang kaget buru-buru menyembunyikan berkas. Ia buru-buru mencomot kertas laporan. Sambil pura-pura tidak menyadari.

“Oh, anggota baru, ya?"

Pria yang merasa kurang familiar dengan wajah pemuda itu pun, teringat pada sosok anggota yang belum lama dimutasi.

Lembur lagi, pak?” sapanya.

“Pak Tri?” lega Rain.

Rupanya, bukan atasannya yang datang. Meskipun demikian, bukan berarti dia tak perlu waspada. Tidak ada jaminan, pria yang dia panggil Pak Tri itu tidak akan mengadu. Pasalnya, meskipun seorang penjaga asrama, sosok Pak Tri merupakan purnawirawan yang pernah mengabdi untuk negara.

“Sampai kaget saya!” aku Rain.

Pria tadi senyum, berpikir betapa serius pemuda itu bekerja.

“Kopi?”

Pak Tri berinisiatif, menunjuk ke arah dapur. Kapan pun, diperintahkan dia sudah siap membuatnya.

 “Tidak usah, pak!”

Rain menunjukkan kopi yang terlanjur dia buat sendiri.

“Oh, ya sudah, kalau begitu saya bantu beres-beres saja,” angguknya, mulai berkeliling.

“Tidak perlu, pak,” sungkan Rain.

Pak Tri menggeleng.

“Bisa membantu petugas aktif merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya,” akunya.

Rain senyum, menatap kepalanya yang hampir memutih seutuhnya. Rambutnya terlihat rontok di sana-sini. Kumisnya tampak lebat, tapi tidak berlebihan. Perut bulatnya begitu menonjol, seperti sengaja membuat kancing bajunya menjerit.

“Belum tidur, pak?“ tanya Rain.

Dia menahan laci dengan lututnya, menyembunyikan ujung berkas yang mencuat.

“Iya, khawatir karena lampu markas masih terang, makanya saya kesini!” jelas pria yang mengenakan hem putih itu, “boleh saya bereskan yang sebelah sini, pak?” lanjutnya, bertanya.

“Apa, sih, pak panggil saja Rain!” seru Rain.

“Rain?”

“Betul, itu nama saya.”

Pak Tri mengangguk, paham maksud prajurit muda itu.

“Sudah kode etiknya begitu, nanti mereka mengira saya tidak hormat, kalau memanggil perwira seenaknya,” ujarnya.

“Apalah arti jabatan, pak? Kalau sudah mati semuanya cuman sekedar mayat!” sahut Rain.

Pak Tri senyum, terkejut mendengar jawabannya. Dia jelas belum berada di usia yang lazim untuk mengkhawatirkan ketetapan Ilahi itu, tapi pikirannya sudah begitu jauh memandang, tapi entah mengapa wajahnya justru berubah murung.

“Kenapa, pak? Apa saya membuat anda merasa tidak nyaman?” tanya Rain.

“Tidak, saya hanya sedikit iri,” aku Pak Tri, “di zaman saya, butuh puluhan tahun untuk mencapai posisi anda. Bahkan, saya sendiri tidak pernah mencapai posisi anda, tapi anda kelihatan seperti tidak menginginkan jabatan itu!” lanjutnya, menuding.

Bukannya memberikan penjelasan, Rain cuman mendehem.

“Jadi, saya kelihatan seperti orang yang tidak berambisi, ya?” gumamnya.

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang