File 31 : Intensi

4.8K 462 12
                                    

Si petugas mengetuk pintu pelan-pelan, menunggu dipersilahkan. Rasanya tetap aneh berapa kali pun, coba dia renungkan. Tapi kenyataan memang tidak selalu bisa dijelaskan. Ia masih belum lupa, bagaimana pria itu memarahinya. Hal itu, bahkan baru saja terjadi beberapa menit lalu.

"Masuklah!"

Tanda mempersilahkan terdengar. Setengah dari pertanyaan yang menggelayut di benak pun, terjawab sudah.

Si petugas membuka pintu. Sambil mengangguk pada rekannya, mereka masuk bersamaan. Tidak ada yang perduli, walaupun cara masuk dan wajah takut mereka begitu menarik. Padahal, di sana ada begitu banyak orang.

Berbaris beberapa petugas dalam satu satu saf, layaknya sebuah upacara. Mereka semua tertunduk dalam posisi istirahat di tempat. Terlihat pula atasannya, Si Kapten Berjanggut memimpin barisan. Mondar-mandir tak jelas arah, seraya memegang gulungan koran. Keduanya sontak mempercepat langkah, ikut bergabung dalam barisan yang sama. Dari situasi yang terlihat, mereka berasumsi sedang terjadi masalah serius.

"Siapa yang menyuruh kalian ikut berbaris?!" tegur Si Kapten.

Si petugas mengusap kening. Berdua merasa bingung. Bahkan, rekannya langsung tertunduk. Layu seperti bunga teratai di tengah gurun.

Ia menoleh ke seberang, tapi petugas yang lain pun, sama saja. Mereka juga membenamkan kepala, layaknya seekor kura-kura. Hanya saja alasannya jauh berbeda.

Menggelikan, sampai-sampai membuat mereka tersiksa menahan tawa. Andai saja tidak takut gulungan koran melayang, semua orang pasti sudah tertawa lepas. Lagipula itu memang kurang ajar. Anak sekolah yang terlambat masuk saja, akan di tempatkan ke dalam barisan khusus. Malahan baru dibubarkan setelah mendapat hukuman.

Bagaimana mungkin mereka berani bergabung begitu saja?

Tarikan napas yang berat terdengar. Itu adalah suatu hal yang haram, untuk dipertunjukkan. Walaupun demikian, mereka tetaplah seorang manusia. Menjalani hal berat dua kali dalam satu hari bukanlah hal yang mudah. Sulit rasanya untuk mengelak dari perasaan itu. Tetapi benih sudah terlanjur mereka tanam sendiri.

Si Kapten menatapnya, tak sabar menanti jawaban. Benar kata pepatah lama; diam itu emas. Layaknya patung, semua orang mencoba diam se-sempurna mungkin. Sialnya, dirinya menjadi satu-satunya orang yang harus berbicara.

"L-Lapor, kami berdua baru saja dari bawah tanah, melanjutkan interogasi, Komandan!"

Sambil memberi hormat, Si Petugas membuka laporan.

Tidak terdengar terlalu beralasan, tapi meninggalkan kesan yang cukup kuat. Banyak orang merasa, jawaban itu bisa diterima.

"Kamu tidak mendengar panggilanku?"

Si Kapten Mendelik, jalan mendekatinya.

Tidak ada yang menyangka, jawaban itu bernilai seburuk itu.

"Siap, kami sedang dalam tugas, sehingga terlalu fokus, maaf Komandan!"

Plak!

Gulungan koran seketika mendarat di pipinya. Rekannya pun, tak luput dari hukuman. Bahkan, jatah yang dia terima jauh lebih spesial. Suaranya benar-benar nyaring, sampai-sampai membuat rahang semua orang serasa berkedut.

"Kamu ingat pria ini?" Si Kapten.

Si Petugas tertegun. Kali ini, dia benar-benar harus memikirkan jawaban yang akan diberikan. Kapten berjanggut menunjukkan secarik foto prajurit muda dengan tangan kiri, sementara tangannya yang lain terus memainkan gulungan koran. Bisa dipastikan wajah mereka akan menjadi semakin hancur, kalau sampai salah bicara lagi. Dengan cermat, dia memperhatikan foto itu.

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang