File 17 : Bakso

6.4K 537 19
                                    

Benar saja, tempat itu sedang ramai antrean. Rain senyum, melihat bulatan bakso aneka ukuran yang ada di dalam panci besar. Asap mengepul dari dalam sana mengeluarkan aroma nikmat, yang membuat perutnya membunyikan sinyal ketidaksabaran. Kebetulan, orang di pojok kiri baru saja selesai makan. Mereka pun menarik kursi, dan segera duduk mengisi tempat itu.

"Mie ayam, atau, bakso pak?"

Sambil membereskan meja, pelayanan menanyakan pesanan.

"Kamu?"

Rain terlebih dahulu menawarinya memilih.

"Bakso!" jawab Indah.

Ia merasa, penyajian mie ayam lebih lama, sementara dia ingin buru-buru kembali ke rumah sakit.

"Saya juga, mbak!" sahut Rain, senyum.

Sambil membuka baret yang dia kenakan, Rain menyandarkan punggung. Seketika, pelayan berkaos biru yang melihat wajah Rain senyum.

"Wah!" gumamnya.

Indah mendehem, kesal melihat kelakuan Si Pelayan.

"Kenapa buka topi segala sih?" gerutunya dalam hati.

"Eh, minumnya apa, ya mas?" tanya Si Pelayan lagi, salah tingkah.

"Teh saja, lah mbak! Teh hangat," jawab Rain.

"Mbaknya?"

"Es jeruk!" ketus Indah.

"Bakso dua, teh hangat, sama es jeruk, ya mas!" catat Si Pelayan, "silahkan ditunggu!" lanjutnya.

"Tadi, 'pak' sekarang, 'mas' dasar plin-plan!" gerutu Indah.

Ia menancapkan pelototan tajam ke arah Si Pelayan. Hingga wanita itu buru-buru mempercepat langkah. Saking takutnya, nampan plastik hitam sederhana yang dia bawa, pun nyaris terbalik. Bulu kuduknya berdiri tegak.

Rain hanya fokus memandangi panci besar di depan pintu masuk, tak menyadari perang urat syaraf yang terjadi. Perhatiannya pada bulatan-bulatan bakso lebih besar, dibanding dua orang gadis itu. Lagipula, urat bakso memang lebih enak dari pada urat syaraf.

Aroma bawang goreng, suara kuah yang mengalir ke mangkuk-mangkuk bergambar ayam jago itu, serta bentukan etalase yang pas. Pemandangan itu memanggil-manggil saliva di mulutnya untuk berkumpul.

"Cakep!" gumamnya.

"Begitu dibilang cakep?!" sahut Indah, tidak terima.

"Lihat, tuh uratnya kelihatan!"

Rain mengedikkan kepala ke arah panci bakso, tapi Indah menganggap Rain menunjuk gadis pelayan.

"Uratnya kelihatan?" heran Indah, "kalau suka yang uratnya kelihatan, kenapa tidak pacaran sama tukang bangunan saja, sekalian?!" lanjutnya, salah paham.

"Hah, logika macam apa itu?" bingung Rain, "kenapa jadi urat tukang bangunan ya..."

Sejenak Rain membayangkan.

"Geli, ngawur! Kamu kira aku apa? Orang aku ngomongin bakso urat, korelasinya malah ke situ!"

Sambil tertawa, Rain menggeleng.

"Kok bakso urat? Kita ini ngomongin apa, sih?" bingung Indah.

"Bakso, kan?" heran Rain.

"Yang cakep itu maksudnya bakso?"

Indah akhirnya paham.

"Lah?"

Rain mengelus-elus kening.

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang