File 14 : Laba-laba Besar yang Merasa Terusik

6.6K 598 22
                                    

Setelah menutup bekas galian Si Cacing, penyidikan dihentikan. Letnan Andi yang berbaik hati mengantarnya pulang pun, berpamitan.

"Hati-hati di jalan, komandan!"

Rain berbasa-basi.

Letnan Andi hanya membalasnya dengan lambaian tangan, segera pergi dari markas Distrik 17. Tidak kalah sibuk, Rain juga bergegas menuju ruangan Kolonel Wahyu.

Ia hendak melaporkan kejadian-kejadian selama penyidikan, tapi pria itu memberi kelonggaran untuk segera pulang.

"Besok saja, kamu pasti lelah!" ujarnya.

"Siap!"

Meskipun merasa agak janggal, Rain pun, kembali ke asrama.

Sesampainya di kamar, ia melompat seperti anak kecil yang berada di kasur orang tuanya. Kapuk mencuat dari ujung kasur yang robek, pun mulai berjatuhan. Namun, ia tak menghiraukannya. Di atas kasur hijau motif garis merah kuning itu, Si Pemuda nakal rebahan. Memikirkan kembali hasil penyelidikan mereka.

Acap kali ia menghela napas, uring-uringan sendirian. Semakin diterka, perkataan Si Cacing soal skandal semakin terdengar tidak mengada-ada. Bau apek bantal guling yang ia peluk pun, tak lagi dia hiraukan.

Ditengah gusar pikiran, suara gayung beradu yang dia dengar sedari tadi, tiba-tiba berhenti. Itu artinya, antrean mandi sudah habis. Tidak ingin melewatkan kesempatan, Rain mengambil handuk. Lari bak kesetanan.

"Waktunya mandi!" teriaknya.

Sambil menghormat, para anggota yang selesai mandi pun, memberikan jalan.

Sesampainya di kamar mandi, tanpa pikir panjang, ia membuka baju dan menerkam gayung.

Byur!!!

Guyuran pertama membasahi tubuh lelahnya. Keringat yang terasa lengket, pun seketika hanyut. Dari pantulan cermin, rambut basahnya yang menutupi muka kelihatan jelas. Hidungnya kembang-kempis mencari oksigen, hingga tampangnya semakin terlihat konyol.

Dibalik itu semua, terdapat sejumlah bekas luka pada tubuhnya yang kekar. Selesai mandi, Rain tidak langsung keluar. Dia menatap pantulan diri di cermin kamar mandi. Kalau biasanya pria-pria akan memuja ketampanan diri dan bergaya bak aktor top, dia cuman mengernyitkan dahi dan terus berpikir keras.

"Kenyataan apa ini? Penegak hukum harusnya melindungi negara, bukan malah menambah prahara," pikirnya.

Sebagai sesama anggota, ia merasa malu. Mereka secara terorganisir bahu-membahu bertindak kriminal, serta menjadi benalu. Menyalahgunakan jabatan, bertindak kelewatan, hingga terang-terangan melakukan kejahatan.

"Inilah yang namanya, pagar makan tanaman."

Di depan cermin ia menggeleng.

Tetes demi tetes air berdetik, jatuh melalui tiap helai rambutnya.

"Aduh, buruknya tampangku!" protes Rain dalam hati.

Kedua tangannya mengepal, geram bukan kepalang. Mulai merasa kedinginan, ia pun mengenakan handuk.

Ketika hendak keluar, tiba-tiba bunyi langkah kaki seseorang mengagetkannya. Mendadak, sosok prajurit tinggi menjulang, bergeser dari samping. Tingginya mungkin hampir dua meter. Meskipun demikian, tubuhnya begitu tegap dan atletis.

Rambut cepaknya terpangkas rapi. Enak di lihat dari sudut mana pun. Namun, datang dari titik buta membuat kemunculannya tidak disambut baik.

"Setan!" kaget Rain.

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang