File 47 : Koran Harian

3.9K 336 9
                                    

"Kebijakan barat dalam mencairkan uang dan kekeringan panjang yang terjadi di Kalimantan mengakibatkan kelumpuhan ekonomi masif. Diperkirakan, krisis terburuk sepanjang sejarah akan segera terjadi jika keadaan tersebut berlangsung lama. Mata uang kita hari ini sudah jatuh bahkan, mencapai 400 persen."

Demikian loper koran keliling membacakan berita utama guna menarik minat pembeli.

Petugas yang mendengar teriakan itu pun, bergegas mengejar si penjual. Akan tetapi si penjual menolak memberikannya. Padahal, markas sudah memasang nama di buku pelanggan tahunan.

"Sudah ada yang ngambil tadi," elak si penjual.

"Terus bagaimana?" tanya si petugas.

"Bagaimana lagi, orang tadi sudah diambil. Kalau mau koran lagi ya, bayar!" Si penjual.

Petugas yang biasanya bertugas mencegat loper koran mulai berdebat. Tidak ingin membuat marah atasannya karena alasan sepele, pada akhirnya si petugas mengalah. Dengan kesal, ia mengeluarkan uang pribadinya untuk membayar koran harian yang sekarang tidak bisa lagi dia beli recehan itu.

"Nih!" ketusnya.

Sementara itu, Rain selaku pelaku perampasan koran markas malah tiduran di kursi panjangnya, seolah tidak punya dosa.

"Apakah aku harus mencairkan dana, ya?"

Pemuda itu membalik halaman, mencari lagi berita terbaru.

"Pembunuhan pajurit Distrik 17 menuju babak baru," demikian tajuk berita.

Pembebasan Indah termuat di dalamnya bersama dengan ditetapkannya Suster Ana sebagai tersangka baru.
...

"Jadi, siapa yang menyuruhmu melakukan itu?" tanya Rain.

Suster Ana yang sekarang memakai seragam tahanan memalingkan wajah, duduk dengan tangan diborgol dengan bibir monyongnya. Tak ada lagi perhiasan mewah, pakaian modis, sepatu bermerk, atau dandanan cantik yang biasanya membuatnya menjadi pusat perhatian. Yang ada hanya karet bungkus nasi yang mengikat rambutnya dan nomor tahanan sponsor dari negara.

"Kenapa tiba-tiba saja anda mengaku, dan apa alasan anda melakukan ini?"

Rain bertanya lagi. Tapi wanita itu hanya menganggapnya tembok.

"Seseorang yang terbukti melakukan pembunuhan berencana dapat dijatuhi hukuman pidana mati," gumam Rain.

Suster Ana yang mendengar itu pun, seketika menengguk ludah.

"Maaf, saya cuman membaca pasal 340!" seru Rain.

"Saya dengar anda bukan bagian penyidik lagi, kenapa bekerja begitu keras?" tanya Suster Ana.

"Cuman melengkapi laporan saja, kok," jawab Rain.

"Memangnya tidak ada penyidik lain?" Suster Ana.

Rain cuman memicingkan bibir lalu berkata, "kalau kamu bersikeras tidak mau mengatakannya, hukuman kamu akan sangat berat!"

Suster ana mendegus. Ia terlihat tidak tertarik dengan peringatan Rain.

"Saya cuman ingin bahagia,' tulis saja itu di laporan anda!" ujarnya.

Rain mengusap kepala, mulai kehilangan kesabaran.

"Jadi, kamu tega membunuh dan menghancurkan kehidupan orang lain hanya demi kebahagianmu?" tanyanya.

"Kalau anda tidak menjadi anggota militer, bukankah orang lain akan mengisi tempat itu?" balas Suster Ana, "coba anda pikir, berapa banyak orang yang menginginkan pekerjaan anda? Berapa banyak kehidupan yang anda hancurkan hanya dari perumpamaan itu saja. Anda pikir selama tidak melanggar hukum, tidak ada kehidupan orang lain yang terganggu? Buka mata anda lebar-lebar! Anda dan mereka tidak ada bedanya dengan saya!" lanjutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang