File 18 : Modus Kamuflase

5.8K 526 17
                                        

Sorenya, Rain berserta anak buahnya berpamitan pulang. Sebelum kembali, dia menitipkan korban keracunan yang juga merangkap sebagai terduga pelaku percobaan pembunuhan pada dirinya sendiri itu, kepada staf rumah sakit. Terlihat pula sosok Indah yang melambaikan tangan, melepas kepergian sang pencuri hati.

Gemerincing suara gelang plastik aneka warna pemberian ibunya, sebelum kelulusan sekolah menengah atas, pun terdengar. Pernak-pernik merah, biru, serta putih, yang terangkai indah dalam gelang sederhana bergemerincing itu, menyiratkan sebuah kesedihan yang dia pendam. Kepergian Rain terasa begitu berat ia lepas, seperti hari perpisahannya dengan teman-teman satu sekolahnya dulu.

"Markas, besar distrik 17!" ingatnya, "mungkin aku harus cari teman narapidana, biar punya alasan jenguk. Tunggu, penjaranya, kan bukan di markas? Ah, sudahlah!" lanjutnya, bergumam.

Ia berbalik ke meja administrasi, hendak berpamitan pulang. Waktu pergantian shift sudah berlalu sejak tadi, tapi dia menunggunya pergi.

Sebelum pulang, gadis itu sempat menanyakan keadaan pasien yang dirawat intensif itu. Rupanya, dia mengalami keracunan berat, akibat semacam zat kimia yang kurang lazim digunakan.

"Katanya, sih ini kasus yang jarang," ujar rekannya.

Merasa kurang paham, Indah cuman mendehem.

Hari demi hari, berlalu. Dia hanya mampu menatapnya dari kejauhan. Tugas tidak bisa ia tinggal, dan penghuni IGD misterius itu pun, sudah dipindahkan ke bangsal atas. Ditambah, jam jenguk Rain yang begitu singkat.

Tiap kali ditawari sesuatu, pemuda itu pasti akan menolak. Apesnya lagi, minggu ini adalah jatahnya piket malam. Ia merasa, dunia sedang menjegal upayanya.

"Indah, kamu belum pulang?" tanya rekannya.

"Belum, mbak mulai nanti berangkat malam," keluhnya.

"Tidak istirahat saja di rumah, kan kerja malam?"

"Mungkin, ini kesempatan terakhir saya."

Indah menyangga kepala dengan kedua tangan. Dari meja administrasi, dia memandangi para anggota. Menghela napas mulai jadi kebiasaan barunya.

Meski hatinya begitu gembira kala bisa bertatap muka dan saling sapa, tetap saja hal itu terasa kurang. Imajinasinya bahkan, semakin tidak terkendali. Tak jarang, dia sampai hilang konsentrasi.

Hari itu pun, gadis itu hanya bisa menatap sendu Si Letnan Muda, yang akan pulang. Seperti biasa, dia hanya datang untuk mengecek kondisi pasien misterius di kamar nomor 23, bangsal teratai, dan langsung kembali lagi begitu tugasnya selesai.

"Apa aku harus mendatangi markasnya, ya?" gumam Indah, sembari melambaikan tangan mungilnya, melepas kepergian Rain.

Tapi, aku ada shift malam setelah ini.

"Aaargh, kenapa aku harus bekerja di tempat seperti ini, sih?!" gerutunya.

Seketika, seisi ruangan menatap heran padanya. Indah langsung pura-pura buka tutup berkas.

Wajah dan telinganya memerah, malu setengah mati. Semenjak memakai kacamata, semakin jarang saja pengunjung genit yang bersiul begitu melihatnya. Tatapan para pria padanya juga serasa berkurang. Sejak hari itu, ia memang mengenakan lagi kacamata minus hitam lamanya, yang sudah jarang dia gunakan.

"Apa gara-gara kacamataku, Rain jadi dingin, ya?" pikirnya.

Selama ini, banyak yang mencoba mendekati, tapi dia tak pernah memiliki keberanian menjalin hubungan. Ini adalah kali pertamanya, ingin menjalin komitmen. Menyenangkan di awal, perasaan itu justru terasa semakin menyiksa tiap harinya.

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang