File 41 : Lagu yang Terdengar Hari Itu

3.8K 327 4
                                    

Pak Subhan dan timnya berunding, menyiapkan siasat baru. Pada saat kejadian, Indah bekerja di shift malam, sehingga penentuan waktunya dapat dipersempit menjadi antara jam 8 hingga jam 12. Dengan petunjuk lagu Bangunan Tua yang sempat disinggung, maka waktu pasti bisa ditentukan. Tapi ia sadar, harus memeriksa beberapa stasiun radio dan menanyakan siaran mereka pada waktu kejadian perkara.

“Izin, yang mulia!” teriaknya.

“Silahkan!” hakim.

“Mohon izin mengajukan saksi tambahan!” Pak Subhan.

Tiba-tiba saja ia berdiri dan melangkah maju. Tubuhnya gemetar, masih tidak menyangka, menemukan fakta ini di tengah sidang. Sebelum menjelaskan, ia bahkan beberapa kali menarik napas.

“Terdakwa tidak membawa jam tangan, sehingga mengira pulang jam 11 akibat jam dinding rumah sakit saat itu dalam keadaan rusak,” jelasnya lirih, supaya tidak didengar para hadirin, “sebagaimana pengakuan para saksi, sebenarnya terdakwa pulang jam 12 malam, tetapi dia mengira masih jam 11. Jika kita bisa mengetahui, kapan waktu pastinya memasuki ruang tersebut, maka kita bisa mengadili dengan lebih bijak,” imbuhnya.

“Apakah penasihat sudah menyiapkan berkasnya?” tanya hakim.

“Belum, yang mulia,” jawab Pak Subhan.

“Berapa lama waktu yang dibutuhkan?” hakim.

“Satu minggu, yang mulia,” jawab Pak Subhan.

Menanggapi jawaban itu, hakim bergegas memenggil pihak penuntut ikut maju. Setelah pihak penuntut maju, hakim pun, menjelaskan permintaan Pak Subhan yang menuntut pengumpulan bukti kembali.

”Pihak penuntut, bagamana tanggapannya?” tanya hakim.

Merasa tak punya alasan menolak, pihak penuntut pun, setuju. Kesepakatan itu akhirnya menghasilkan keputusan penundaan sidang kembali. Guna mengumpulkan kembali bukti yang diminta. Selain itu, waktu juga sudah tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan sidang.

“Dengan ini, sidang dinyatakan ditunda, dan akan dilanjutkan kembali sagu minggu lagi!” seru hakim, “berarti... tanggal berapa panitera?” lanjutnya.

“19 yang mulia!” jawab panitera.

“Sembilan belas!”

Tok!

Hakim mengetuk palu.
...

Udara kemenangan yang segar seakan membersihkan paru-paru. Tidak cuman pernapasan semua beban serasa ikut terangkat. Dengan senyum lebar Pak Subhan senyum, merencanakan siasat busuk untuk membalas junior kurang ajar tempo hari.

Sengaja menunggu, ia keluar paling akhir. Padahal sidang sudah cukup lama selesai. Dia bahkan, mengambil jalan memutar hanya untuk pura-pura berpapasan jaksa muda tempo hari.

“Padi yang subur akan semakin menunduk, dibandingkan dengan yang tidak,” sindirinya.
Sambil membenarkan kacamata, jaksa muda itu menjawab, “tunggu saja besok, siapa yang akan tertunduk.”

Ia tampak senyum kecut.

“Oh, aku memang orang yang lebih suka menunduk, dan tidak pernah bersikap tidak sopan kepada senior,” sindirnya lagi.

Berbanding terbalik dengan kata-kata yang dia ucapkan, pria itu pergi dengan dada membusung dan kepala amat tegak. Bahkan, ia juga menepuk punggung juniornya sembari tersenyum sinis.

Sekilas, ia terlihat sangat percaya diri. Tapi tempat yang pertama dia kunjungi adalah markas.

Sambil menunjukkan berkas yang dia bawa, ia bertanya, “kenapa anda tidak mendiskusikan semua bukti ini terlebih dahulu?”

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang