File 1 : Kriing!

30.8K 1.4K 33
                                    

Kriiing!

Bunyi telepon terus berdering, tapi pemuda itu terlalu sibuk mengurus berkas. Sampai akhirnya, suara bising membuat satu ruangan merasa tidak nyaman.

“Angkat, tuh!”

Rain tersentak. Orang-orang sudah cemberut memelototinya. Sambil menebar senyum kecut, pemuda itu pun, buru-buru menerkam gagang telepon. Telepon kini terhubung, tapi Si Pemanggil hanya membisu. Nomornya pun, terlihat asing. Rain semakin bingung.

"Unit reserse Distrik 17, selamat malam! Ada yang bisa kami bantu?" sapanya.

Dia menatap sekeliling, menunggu Si Penelepon menjawab. Hari semakin gelap. Sekelilingnya pun, sudah sepi. Suara mesin ketik yang berbunyi sepanjang hari, sekarang tidak terdengar lagi. Entah sejak kapan, tinggal dia satu-satunya anggota reserse yang tersisa. Ia mulai gelisah.

Beberapa saat menunggu, telepon masih saja senyap. Licin gagang berminyak telepon kantor yang semula tak ia hiraukan pun, mulai mengusik benak. Siang itu atasannya membawakan begitu banyak gorengan.

Harusnya aku tidak ikut makan, gerutunya dalam hati.

Tanpa sadar, benda itu terjungkal. Untungnya dia berhasil menarik kabel telepon, menangkapnya sebelum jatuh. Kalau tidak, telepon kantor mungkin sudah berubah menjadi rongsokan.

“Halo, pak?”

Pemuda itu tengak-tengok, pura-pura tidak terjadi apa-apa. Ia memasang lagi benda itu ke telinga. Akan tetapi, Si Penelepon tak jua menjawab panggilan.

“Apa kubilang? Duduk menunggu panggilan itu bukan keahlianku,” keluhnya.

Telepon mendengung sebentar, membuatnya menyimak lebih seksama. Kepalanya tertunduk. Tangannya kian kuat menerkam gagang telepon. Rain sangat fokus. Tiba-tiba, terdengarlah suara itu.

"To-long... sa-ya!"

Dingin seketika menjalar ke sekujur tubuh. Tengkuk leher serasa kesemutan. Adrenalin terpompa begitu dahsyat, hingga membuatnya nyaris melompat ke atas meja. Suara setengah berbisik itu terdengar begitu menakutkan.

"Astaga!!!"

Rain terlalu panik. Tanpa sengaja, ia menutup panggilan.

“Apa itu?”

Penuh rasa cemas, Rain memperhatikan pesawat telepon. Pikirannya berubah tak karuan. Ia begitu cemas kalau-kalau panggilan tadi adalah situasi darurat.

"Namun, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin panggilan semacam itu menyasar ke sana?"

Rain mengamati pesawat telepon, memutar otak berulang kali.

“Benar kok, ini telepon unit reserse."

Kebingungan terus menyerang.

Kriiing! Kriiing!

Lagi-lagi telepon berdering. Napasnya semakin meningkat. Rasa takut kian menyeruak. Anggota intel yang tadinya mengisi ruangan, seorang pun, tak tampak lagi batang hidungnya. Terpikir untuk mengabaikan panggilan, tapi bagaimana jika itu memang panggilan darurat?

Pelan-pelan, ia paksa tangannya yang berkeringat mendekati pesawat telepon. Ia angkat gagang telepon dan memasangnya ke telinga. Telepon mendengung sebentar. Suara seseorang pun, terdengar. Rain menengguk ludah, dia merasa sangat tertekan.

“Rain?”

Pemuda itu mendesah. Kedua lututnya lemas. Tubuhnya terjatuh, duduk di atas kursi. Rupanya, itu adalah Kolonel Wahyu, pimpinan Distrik 17.

File 73Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang