"Jadi, kamu disuruh memasuki ruang anak?"
Rain menarik punggung menjauh dari kursi. Kaki bagian depan kursi sesekali terjungkit naik, membuatnya terlihat seperti sedang main-main. Apalagi, wajahnya terlihat sangat bosan.
"Iya!" angguk Indah, gusar menatap sekeliling.
Mereka duduk bertiga di ruang interogasi, bersama seorang pria berkacamata. Rambutnya pendek, klimis sisir samping. Kumis dan jenggotnya pun, terpangkas rapi.
Mengenakan setelan jas lengkap berwarna biru maroon. Jam tangan perak kelas menengah melingkar di lengannya. Serasi dengan dasi merah burgundi yang dia kenakan. Kalau saja pilihan parfumnya lebih tepat, penampilannya pasti mengesankan banyak orang. Wangi bunga melati yang terlalu kuat membuat aroma tubuhnya jadi seperti kemenyan gelondongan.
Umurnya sekitar 40-an, terlihat dari kerutan di dahinya. Sambil meletakkan tas kulit hitam yang dia bawa, pria itu merapikan letak kacamatanya.
"Bagaiamana menurut anda?" tanya Rain.
"Sulit, bagaimana pun, juga mereka memiliki bukti yang sangat kuat," jawab pria itu.
Indah menatap lesu, khawatir akan kelanjutan hidupnya. Ternyata lolos dari Distrik 14 bukan berarti hidupnya bisa segera kembali seperti semula.
"Tidak semudah itu ya?" gumam Rain, "oh, kenalkan dia Pak Subhan, pengacara umum yang akan mendampingimu di persidangan minggu depan. Uangnya komnas dan pemerintah yang tanggung, jadi kamu tidak perlu khawatir," lanjutnya, mengenalkan. Sekaligus berusaha mencairkan suasana.
Indah berdiri, mengenalkan diri. Sambil mengulurkan tangan.
"Indah."
"Subhan!"
Pria itu mengangguk, menjabat tangannya dengan ramah. Begitu kembali duduk, wajahnya berubah sangat serius.
"Kamu ceritakan saja semuanya kepadanya, sama itu, kacamatanya dilepas saja!" seru Rain.
"Tidak mau," bantah Indah.
"Pak Subhan a-"
"Aku tidak mau melepaskan kacamataku!" putus Indah.
"Kenapa sewot?" pikir Rain.
Gadis cantik itu menarik napas. Memperbaiki posisi kacamata bulatnya yang pecah sebelah. Benda itu adalah tanda kegigihan perjuangan yang sudah dia lalui. Lebih-lebih, perasaannya kepada seseorang juga bersemayam di dalamnya.
Walaupun pandangannya terganggu, ia tidak ingin melepasnya.
"Kamu tidak merasa pusing?" tanya Rain.
Indah menggeleng, lalu menundukkan kepala.
"Ya sudah, pokoknya ceritakan saja sama Pak Subhan!" serunya lagi.
Indah mengangguk, menarik rambutnya yang menutupi telinga ke belakang.
Sebelum dia mulai menjelaskan, Rain tiba-tiba beranjak.
Seketika, ia mencengkeram tangannya, seperti anak kucing yang mau ditinggal induknya.
"Aku cuman pergi sebentar, kok!" tenang Rain.
Indah menggelengkan kepala, merengek seperti anak kecil. Ia takut, tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Selain Rain, tidak ada yang bisa membuat gadis membuka mulut.
"Apa tidak sakit?" pikir Rain.
Ia mendesah, menatap tangan kurus Indah. Melepaskannya pun, rasanya tidak tega.
Hampir semua kuku tangan gadis itu dicabut paksa oleh petugas Distrik 14. Siksaan itu berakibat sangat buruk. Meskipun sudah diperiksa dan mendapat pertolongan, kondisinya belum juga stabil. Terutama mentalnya yang terguncang.
KAMU SEDANG MEMBACA
File 73
Mystery / ThrillerBuat reader lama mohon maaf nggak jadi revisi singkat gara2 setengah bagian hilang. Mohon maaf juga kalau hampir dua tahun ini gue nggak aktif soalnya, gw pribadi baru bisa dapet akses balik ke akun ini lagi beberapa bulan lalu setelah hp gw ilang...