“Silahkan duduk!”
Rain mempersilahkan, sementara Pak Subhan yang melihat kedatangan orang tua Indah langsung memberikan ruang.
“Perkenalkan, mereka ini adalah orang tua Indah!”
Ia memperkenalkan kedua orang itu kepada Pak Subhan, sambil duduk di kursinya.
“S-Subhan!”
Agak gugup, Pak Subhan mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.
“Haris!”
Pria tambun berkulit gelap itu menjabat tangannya, disusul istrinya mengikuti.
“Susan,” sambungnya.
Ketiganya duduk rapi berderetan dengan raut muka yang kelihatan canggung. Pasalnya, mereka belum pernah bertemu sebelumnya.
“Dia ini adalah pengacara Indah.”
Rain lanjut menjelaskan.
Mendengar itu, keduanya segera memperhatikan lagat pria berpakaian rapi itu.
“Saya sudah mempelajari berkas kasus sepanjang hari, jadi sudah hafal.”
Rain, melirik Pak Subhan, lalu berkata lagi, “daripada menjelaskan kepada saya, lebih baik jelaskan
saja kepada mereka!”Pak Subhan terlihat kesal. Ia merasa, Rain sedang melemparkan masalah kepadanya.
“Apakah situasinya begitu buruk, pak?” sahut Pak Haris, alias ayah Indah.
Reaksi Pak Subhan membuatnya merasa cemas. Apalagi, wajahnya kelihatan masam. Perkataan Rain juga seakan memperkuat itu, sehingga membuatnya tidak tenang. Padahal, wajah Pak Subhan terlihat masam karena kesal kepada Rain. Sementara Rain curiga Pak Subhan menjual namanya supaya Indah dipindahkan.
Pak Subhan mendeham, mencoba mengabaikan rasa kesalnya.
Sambil memperbaiki dasi dia menjawab, “sejujurnya, ini akan sulit.”
“Apakah anak saya tidak punya kesempatan?” sahut Bu Susan.
“Di persidangan sebelumnya, tergugat mengaku pulang jam sebelas malam, padahal para saksi menyatakan dia pulang jam 12 lewat,” jawab Pak Subhan, “lebih-lebih, petugas juga menemukan barang bukti yang memberatkan. Secara pribadi, saya berpendapat mengakui perbuatan jauh lebih masuk akal, sehingga hukumannya bisa diringankan,” lanjutnya.
Pak Haris terdiam, meremas kedua tangan. Pria itu kelihatan sangat kesal.
Ia teringat saat menerima kabar penangkapan anaknya. Saat pergi mengunjungi, Indah tak berhenti menangis dan merengek-rengek. Gadis itu terus menyangkal dan mengaku tidak bersalah. Sayangnya, bukti-bukti tak mendukung pengakuan itu. Dirinya yakin, anaknya sedang dijebak. Tapi karena tidak ada yang mau mendengarkan, ia pun, kesal dan mengobrak-abrik barang-barang.
“Pak!?”
Bu Susan sang istrinya menepuk pundak.
“Apakah anda akan memaksa putri saya mengaku, seperti pengacaranya sebelumnya?” tanya Pak
Haris lagi.
Pak Subhan menggeleng, lalu menjawab, “klien saya tetap bersikeras menyatakan diri tidak bersalah, jadi akan lebih baik kalau kalian yang membujuknya.”
Mendengar jawaban itu, jemari Pak Haris seketika melunak. Walaupun Pak Subhan lebih condong tak memihak putrinya, setidaknya dia tidak mengintervensi keputusan yang dia ambil. Andaikan saja Pak Subhan berniat memaksa, ia pasti sudah membanting meja seperti yang pernah dilakukannya di Distrik 14.
KAMU SEDANG MEMBACA
File 73
Misteri / ThrillerBuat reader lama mohon maaf nggak jadi revisi singkat gara2 setengah bagian hilang. Mohon maaf juga kalau hampir dua tahun ini gue nggak aktif soalnya, gw pribadi baru bisa dapet akses balik ke akun ini lagi beberapa bulan lalu setelah hp gw ilang...