Untuk Sebuah Nama #11

3K 190 1
                                    

*
*
Sebesar apa rasa kesal itu..? Setinggi gunung.? Seluas lautan kah.?.
Bahkan jika seluas padang sahara sekalipun, itu tak berlaku lama dalam hubungan kami.
Karena dalam hitungan detik semua akan kembali membaik.
(Ali_Prill)

*
*

Banyak yang telah terjadi di hidupnya, gadis itu pernah mengeluh, pernah juga meratap, dan pastinya selalu bertanya mengapa jalan hidupnya semakin rumit.

Kehilangan orang yang dicintai ternyata bukan lah akhir dari cerita, ternyata sekarang kenyataan hidupnya lebih rumit dan semakin sulit, setelah bertemu sahabat kecilnya yang telah lama tak jumpa.

"Gue bukan satu-satunya orang yang paling menderita di dunia ini kan Wil.?" gumam Prilly dengan desahan keluh kesa, itu ungkapan isi hatinya saat ini.

Prilly sedang berbaring bersama Wilona di taman belakang gedung Bahasa, dibawah pohon rindang, padang rerumputan terbaik di kampus itu.

Untungnya kedua gadis itu mengenakan kemeja gelap, jadi tak  terlalu menghiraukan dengan kotor.

Wilona menoleh, menatap Prilly bingung "lo ngomong apa sih.?"

"Gue itu bingung," guming Prilly

"Bingung kenapa.?" tanya Wilona mendesak.

Prilly yang sejak tadi telentang memandangi dahan, menoleh pada Wilona "lo jangan cerita ke Ali ya." pintanya penuh harap.

Wilona menatap Prilly semakin bingung, namun anggukan kecil itu merespon Prilly begitu sja.

"Gue ketemu teman lama gue, dan dia itu, anak Tehnik." jelas Prilly ragu-ragu menatap Wilona, respon Wilona semakin aneh, kerutan di dahinya semakin bertambah, Prilly menghelas napas berat sebelum melanjutkan kata-katanya "dia Rasya, musuh Ali." tambah Prilly dengan nada yang mengecil.

"What..." pekik Wilona yang langsung spontan bangkit dari posisi tidurnya. Wilona sungguh kaget dengan kalimat yang keluar dari mulut Prilly.

Prilly bangkit dan ikut duduk, menatap Wilona yang masih melongo tak percya "Apes kan hidup gue." desah Prilly mendumel.

Wilona menggeleng kaku "ini mah celaka 59 Prill." gumingnya.

"Gue juga bilang gitu barusan." tukas Prilly dengan bibir manyunnya.

"Emang gimana ceritanya lo bisa temenan sama si pentol abal-abal itu (nama panggil khusus dari Wilona untuk Rasya) ?" Wilona semakin mendesak Prilly dengan rasa keponya.

"Dia sahabat kecil gue Wil,," sahut Prilly mendesah putus asa.

Wilona mendelik "kok bisa...?"

"Ya bisa lah.!" tukas Prilly yang kali ini ketus dengan tanggapan Wilona yang sama. "Dia itu pindah saat gue SMA, tapi setahu gue dia itu pindah ke luar negeri. Heran juga kenapa bisa ada disini." jelas Prilly dengan ekpresi tak paham "Namun sialnya, saat ketemu lagi, dia malah menjadi musuh suami gue sendiri,!" tambah Prilly, lagi-lagi ia mengeluh.

Wilona berdecak dengan sedikit gelengan putus asa "Yang sabar ya,! kayaknya lo emang ngak berjodoh buat sahabatan lagi sama pentolan abal-abal itu." ujar Wilona mengiba, "tapi saran gue lo ngak usah deket-deket deh sama anak Teknik, karena mereka ngak pernah pandang bulu, sekalipun lo itu teman kecil si Pentol" saran Wilona "Ingat pesan gue. Jauhin gedung Teknik, Bahaya." tambahnya mengimbau.

"Udah deh, ngak usah nakutin kenapa.? udah tau lagi pusing, bukan nya bantuin mikir, malah nambah beban pikir gue lo." omel Prilly

Wilona terkekeh mendapati omelan Prilly "Hidup itu jangan terlalu di buat melo drama Prill.! cari aman aja. Pilih kehidupan yang lebih menjamin dan tinggalin yang nyusahin." ujar Wilona dengan bijaknya, membuat Prilly berpikir bangga padanya, ngak sia-sia masuk jurusan Bahasa.

Untuk Sebuah Nama✔ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang