Untuk Sebuah Nama #33

2.3K 143 2
                                    

*
*
Kita akan gelisah ketika ada yang mengancam dia, orang yang kita sayangi. Dan rasa ingin berkorban apa pun muncul tanpa syarat. Demi teruntuk dia yang paling berharga.


(KEGELISAHAN PŔÏŁŁY)

*
*

Hari sudah kembali menjelang malam, Ali baru sampai karena setelah membereskan tempat camping, mereka masih harus membereskan pelaratan lain, hal itu membuat Ali harus rela terlambat pulang kerumah. Ia memilih membaringakan tubuhnya di sofa yang lebar di ruang tamu, ia tak berniat untuk memanggil istrinya. Perlahan mata Ali lelap dalam kantuk yang amat berat.

Atas apa pun yang dialami saat ini ia sedang ingin berbaring tenang. Hanya itu.

Perlahan langkah kaki memelan mendekati laki-laki yang kini telah lelap dalam tidur, ia sama sekali tak terganggu meski ac diruangan itu tak dinyalakan.

Prilly menguntai senyum kecil memandangi suaminya yang begitu lelap, tangan mungilnya meraih remot dan menekan tombol on, memperbesar volume ke angka 16.

"Good night.." gumam Prilly pelan, ia menghadiahi kecupan lembut dikening Ali yang sedikit berkeringat.

Prilly memilih duduk di ujung sopa, seakan instingnya berjalan sembari tidur, Ali menggeliat, memiringkan tubuhnya membuat tersisa tempat yang lumayan luas. Prilly bersedekap menatap wajah Ali lurus. Ada kalimat yang melintasi kepalanya begitu saja.

"Sakit ini akan di bayar kematian, Itu baru setimpal"

Tubuh Prilly seketika menegang, matanya tak luput dari binar bening yang berkaca-kaca. Ada sulut ketakutan dalam hati Prilly yang sejak tadi mengganggunya, membuatnya enggan untuk menutup matanya. Bisikan laki-laki itu memang bernada datar namun mampu membuat tubuhnya menegang dalam hitungan detik.

"Apa yang harus ku lakukan,,! Aku tak mau kehilangan orang yang aku sayang untuk kedua kali nya.." Prilly mengusap pipinya yang tanpa sadar sudah membasah.

Prilly melorosoti tubuhnya, berbaring di  satu sopa yang sama dengan Ali. Tubuh itu meringsut dan memeluk tubuh Ali. Matanya masih enggan untuk pejam, jadi ia memilih untuk memandangi wajah Ali yang begitu dekat.

Satu menit..

Sepuluh menit..

Tiga puluh menit..

Dan satu Jam kemudian mata itu masih menatap lurus pada wajah Ali, sedikitpun tiada kantuk yang terasa.

Karena masih enggan untuk terpejam Prilly memutuskan menyudahi usaha sia-sianya untuk bisa tertidur. Ia mengangkat tubuhnya. Saat tubuh itu hampir kembali duduk, lengan yang kekar menjulur ke pundak Prilly dan menariknya dengan cepat, hanya dalam hitungan detik tubuh itu kembali terbaring keposisi semula dengan lengan Ali sebagai bantalan.

Prilly menoleh dan mendapati tatapan suaminya yang diringi senyum tipis "kenapa ngak tidur..? Ini udah larut.." ucap Ali dengan suara pelan.

Bukannya menjawab Prilly justru menusup wajahya ke dada bidang Ali dan memberi pelukan yang erat. Ali merasa sedikit aneh, bingung, namun detik kemudian ia membalas pelukan itu tanpa bertanya. Kenapa...?.

Ia begitu lelah, namun ekspresi yang ditunjukkan Prilly membuatnya khawatir, wajah tanpa ekspresi itu berputar-putar di kepalanya. Ia menilik istriya yang masih menusup didada bidangnya, ia mengingsih rambut yang menghalanginya melihat wajah Prilly ke belakang telinganya. Mata yang tertutup itu mengerjap dalam pelupuk yang merekat.

Untuk Sebuah Nama✔ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang