24

271K 15.9K 244
                                    

Author POV

Jemari Lisa terus bergerak mengetuk pahanya dalam irama. Matanya bergerak gelisah, lebih banyak melirik ke sebelah kiri, pada si pria yang tengah mengemudikan mobil, membelah jalanan Paris yang masih diselimuti salju tipis dengan kecepatan lambat. Seperti sengaja mengulur waktu, agar bisa berlama-lama dengan wanita yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali bertemu di atas pesawat.

"Relax, we just doing shopping," ujar Ben saat menangkap kegelisahan di mata Lisa. Ben tidak mengerti bagian apa dari dirinya yang membuat Lisa begitu takut akan dirinya. Padahal, mereka sudah saling berkenalan tadi di Masion Pic. Bahkan Lisa juga sudah tau kalo Benjamin Allard adalah keponakan dari Mr. Damien. Ben yakin mereka akan akrab, karena Lisa begitu antusias saat meeting.

Tapi, ketika meeting selesai dan Mr. Damien memaksa Lisa untuk memilih hadiah pernikahan darinya bersama Ben, Lisa lebih banyak diam. Jika diajak cerita hanya menanggapi sepintas. Selebihnya dia akan lebih banyak diam.

"I know," jawab Lisa pendek.

"Apa aku harus pake bahasa Indonesia baru kamu mau ngobrol?" Lisa menoleh dengan cepat ke arah Ben yang kini tersenyum senang. Meski sedang menatap ke depan, di bisa melihat ekspresi kaget di wajah Lisa.

"Kamu bisa bahasa Indonesia??" Tanya Lisa masih tak percaya. Karena sepanjang meeting pria itu hanya berbicara bahasa Inggris. Meski agak sedikit cadel.

"Iya. Aku sudah belajar dari bulan lalu saat Uncle Damien memintaku memimpin cabangnya di Jakarta,"

"Kalo kamu bisa bahasa Indonesia, berarti kamu..." Lisa menahan kalimatnya, mencoba mengingat ocehan yang sempat dia lontarkan secara terang-terangan di depan Ben karena merasa dia pun tak akan mengerti apa yang Lisa katakan.

"Aku mengerti apa yang kamu katakan waktu pertama kali masuk mobil. Kamu bilang aku modus, dan caper. Caper means cari perhatian, kan?"

Lisa menutup wajahnya yang memerah dengan kedua telapak tangan, seperti tertangkap tangan sedang mengumpat kata-kata kasar oleh ibunya. Kemudian terdengar tawa Ben yang renyah, serenyah biskuit Engkonggua yang meski beda bentuk, rasanya akan tetap sama.

"Maaf. Aku cuman... Ummm... Tapi kamu curang!" Lisa mengacungkan telunjuknya ke samping kepala Ben.

"Curang kenapa?" Tanya Ben santai sambil melirik Lisa yang ternyata lebih cantik jika dilihat dari dekat.

"Kamu bisa bahasa Indonesia tapi kamu nggak kasih tahu aku," Lisa melipat tangan di depan dada dengan bibir mengerucut, membuat Ben semakin gemas.

"Tapi kamu tidak tanya ke aku, kan?"

"Tapi... Huh! Aku mau turun di sini!" Seru Lisa dan memukul dashboard agak kencang. Jawaban Ben semakin membuatnya kesal.

"Hei, aku cuman bercanda. Jangan marah, ya? Cantik kamu hilang kalo marah-marah," Ben mencoba mengembalikan mood Lisa yang sepertinya memang tidak baik dari awal mereka bertemu di pesawat. Mau tidak mau, Lisa tersenyum sepintas, namun kembali memasang tampang masam saat matanya bertemu dengan mata coklat Ben.

"Baiklah, aku minta maaf. Aku traktir es krim terenak di kota Paris,"

Mendengar kata es krim membuat senyuman kembali menghiasi bibir tipisnya.

"Es krim?" Tanya Lisa dengan intonasi yang imut.

"Iya. Kamu suka es krim kan? Buktinya gelato yang aku pesan untuk kamu langsung habis,"

"Aku cuman nggak mau buang-buang makanan," Lisa memasang tampang coolnya.

"Tidak apa-apa. Aku malah senang kamu habisin es krimnya. Tapi kita beli hadiah dulu. Kamu mau hadiah apa?"

Are We Getting Married Yet?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang