Saga POV
"Selamat menempuh hidup baru dokteerr!" Teriak Yolan, Marco, serta para perawat dan bidan yang selama ini bekerja denganku, dari dalam poli KIA saat pintu ku buka. Ditangan Bu Miming ada sebuah kue bertuliskan Happy Wedding Day. Aku masuk dengan wajah sumringah, dan disambut oleh jabatan tangan yang menyelamatiku atas pernikahan kemarin. Ya, memang yang datang ke pernikahanku di Bali dari rumah sakit tidak banyak. Hanya direktur serta Marco dan Yolan.
"Dokter tambah cakep aja habis nikah. Aura orang udah kawin beda ya," celetuk Bu Miming setelah meletakkan kue di meja.
"Apaan, Bu. Nggak ada yang berubah dari saya," jawabku dan tersenyum geli.
"Dokter pake gaya apa waktu ML?" Kebiasaan Ney kalo bercanda harus selalu ada kata-kata vulgar.
"Itu rahasia 'dapur' saya," jawabku pendek dan menyipitkan mata padanya yang sekarang sudah terbahak.
"Alah, palingan belum ML," ujar Marco dan mencolek krim dari kue di atas meja.
"Enggak mungkin. Pasti selesai resepsi langsung diterkam, kan istrinya dok?" Sambar Ira, anak kepercayaan Bu Miming di ruang VK. Otaknya 11/13 sama seperti Ney.
"Memangnya saya macan?" Tukasku dan memotong kue dan langsung melahapnya.
"Makan biskuit jadi sekuat macan auummm," tambah Yolan dengan gestur tangan menirukan cakar macan. Meski kesal, aku tak bisa menyembunyikan tawaku karena kekonyolannya seperti biasa. Selanjutnya kami mulai memotong kue dan makan bersama sembari mengobrol ringan. Satu per satu berpamitan dan beberapa diantaranya memberikan bingkisan kecil. Begitu jam sudah menunjukkan pukul 8 tepat, Yolan dan Marco yang merupakan orang terakhir juga ikut pergi karena memang sudah waktunya jam pelayanan di mulai.
"Pak dokter keliatan pucat. Lagi sakit, dok?" Tanya Ney saat membereskan status pasien di meja setelah selesai pelayanan. Aku melirik sebentar ke layar ponsel, mencoba memastikan apa yang dikatakan Ney.
"Perasaan kamu saja Ney," jawabku meski sebenarnya memang aku sedikit pucat. Dari pagi rasanya badanku berat, hingga membuatku sulit bangun kalo saja Lisa tak membangunkan. Perutku juga tidak enak, seperti kembung, membuatku serba tak nyaman. Sepertinya aku kelelahan dan mulai makan tidak teratur sejak kejadian di Sumba. Setelah ini, lebih baik aku makan siang dan istirahat sebentar. Palingan juga sembuh.
Saat aku akan beranjak keluar dari poli, ponselku berbunyi dan itu panggilan dari Bu Miming.
"Dok, ada keadaan emergency di VK," Bu Miming terdengar panik, namun tetap berusaha tenang. Sepertinya makan siang harus ditunda sementara.
"Siap. On the way," jawabku dan mengembalikan ponsel ke jas putihku.
***
Aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur begitu sampai di kamar dengan posisi terlentang. Sungguh aku sudah tak sanggup lagi, badanku tambah lemas. Diperparah oleh demam, karena badanku rasanya panas. Sepertinya sakit ini semakin menjadi. Mungkin, maag yang sudah lama aku alami lagi kambuh. Perutku kembali bergejolak, memaksaku segera bangun dan berlari cepat ke wastafel di dalam kamar mandi. Dengan cepat semua makanan yang baru saja aku makan tadi di kantin keluar bersama asam lambungku."Saga!" Suara ini? Apa aku tidak salah dengar? Aku melirik sebentar seseorang yang sudah berdiri di sampingku. Lisa. Bagaimana dia tahu aku disini? Belum sempat bertanya, aku kembali memuntahkan isi perutku yang belum tuntas sementara tangan Lisa mulai memijit tengkuk ku.
"Jangan disini," ujarku masih setengah tertunduk di depan wastafel "bau muntah," aku menyeka mulut dengan punggung tangan. Lisa hanya diam, tidak menghiraukan ucapan ku. Tangannya masih sibuk meremas pelan tengkuk ku, membuatku kembali mengeluarkan isi lambung yang terakhir. Setelah merasa baikan, aku berkumur sekaligus mencuci muka. Kemudian aku mengambil handuk yang disodorkan Lisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Getting Married Yet?
RomanceSagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih single karena terlalu sibuk dengan kerjaannya. Sementara sang ibu selalu memaksanya untuk segera menikah dan mengancam akan berpindah kewarga...