Sagara POV
Malam itu, ketika aku merasakan anak-anakku menendang pertama kalinya-momen paling emosional sepanjang kehidupan seorang Sagara, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Lisa dan anak-anak kami akan tetap sehat hingga jadwal operasi mendatang.
Keyakinan akan keadaan yang lebih baik rasanya hampir sirna. Keadaan Lisa mulai kurang, atau, bahkan tidak baik. Mulai dari mual muntah, sering pingsan, disuntik pengencer darah tiap dua belas jam sekali, hingga masuk UGD karena bekas suntikan yang terus mengeluarkan darah belasan jam tanpa henti, akibat darah yang terlalu encer. Rasanya, jiwa ini hilang separuh saat melihat dress favoritnya bersimbah darah. Saya itu juga, aku berserah pada Tuhan. Apalagi, saat Lisa sudah mulai memberikan pesan seakan-akan dia pergi jauh setelah ini. Aku menangis sejadi-jadinya, seperti anak kecil di sampingnya ketika itu.
Sebisa mungkin aku selalu berusaha pulang tepat waktu ke rumah dan memilih menghabiskan waktu bersama Lisa. Meski kami tinggal di rumah mama dan papa sekarang, tetap saja khawatir ini tidak pernah berkesudahan.
"Sayang?" Aku memunculkan kepala dari celah pintu, dan mendapati wanita cantik itu tengah duduk di kursi. Sebuah notes dan pulpen tertata rapi di depannya, di atas meja tepatnya. Aku membuka pintu lebih lebar, dan melangkah masuk ke dalam gudang yang dirubah papa jadi kamar kerja Lisa. Wanita ini senang sekali menghabiskan waktunya di tempat ini, beberapa waktu belakangan. Tepatnya, baru tiga hari.
Dari tempatnya kini, Lisa tersenyum saat melihatku. Dia memeluk pinggangku erat saat aku melebarkan kedua tanganku-sedikit menunduk untuk mengecup puncak kepalanya.
Lisa menggesekkan hidungnya ke perutku, saat tubuh kami saling mendekap. Dia senang melakukannya beberapa hari ini. Katanya, 'bau' ku enak.
"Gimana kabar kamu dan anak-anak?" tanyaku dan meraih dagunya agar mendongak, mengecup singkat bibir berisi itu.
"Baik, sangat baik," ucapnya riang, tapi tetap saja terdengar sedih. "Kerjaan kamu? Lancar?"
Aku mengangguk sebagai jawaban, lalu, memutuskan duduk pada kursi yang berada di sampingnya. Kami duduk berhadapan, saling menatap satu sama lain. Wajah pucat ini, tetap saja terlihat luar biasa stunning.
"Obat kamu udah diminum?" Tanyaku lagi.
"Aku udah minum obat tadi, dua jam lagi-" Lisa menahan kalimatnya sambil melirik jam kecil dipergelangan tangannya, hadiah dariku kemarin "aku harus disuntik,"
Aku tersenyum getir, menyelipkan anakan rambut yang mencuat ke belakang telinganya. Momen yang paling aku benci. Benci, tangan ini harus menyuntikkan cairan obat ke perut Lisa yang tentu saja menyakitinya.
"Kita skip saja untuk sekali ini. It's okay," aku menyarankan. Kening Lisa mengerut tampak tidak suka dengan saranku.
"Nggak!" Serunya. "aku nggak bakalan melewatkan suntikan itu meski hanya sekali saja. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama triplets. Aku nggak peduli jika perut aku harus biru-biru yang penting kami sehat,"
Aku tertawa pelan melihat wajah cemberutnya yang menggemaskan, ditambah pipi gendutnya yang bergerak-gerak tiap kali dia berbicara.
"Iya, iya. Aku ngerti. Dua jam lagi aku suntik. Atau, kamu mau disuntik yang lain?" Godaku dan membuatnya tertawa. Semoga, seterusnya bisa seperti ini.
"Ga?" Panggilnya ketika tawa kami mereda, lalu benar-benar hening.
"Hmm?" Aku menatapnya dalam.
"I love you," bisiknya dengan tatapan sayu. Aku menarik dengan cepat gagang kursinya agar mendekat. Roda-roda di bawah kursi semakin mempermudah. Begitu mendapatkan wajahnya, tidak perlu lama untuk melahap bibir itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Getting Married Yet?
RomanceSagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih single karena terlalu sibuk dengan kerjaannya. Sementara sang ibu selalu memaksanya untuk segera menikah dan mengancam akan berpindah kewarga...