Lalisa POV
Duka mendalam yang aku rasakan setelah memiliki triplet adalah ketika mereka jatuh sakit. Aku lebih memilih mereka aktif, membuat rumah lebih mirip kapal pecah, mencoret tembok, atau membuatku kesal dengan kenakalan mereka daripada harus melihat anak-anak keliatan lemas, hanya diam dan tidur karena kesakitan. Kalau saja bisa, aku ingin setiap sakit yang dialami triplet bisa berpindah padaku saja. Apa aku berlebihan? Entahlah, aku tidak tega saja melihat wajah memelas mereka.
Ini sudah hari kedua anak bungsu-ku sakit. Meski suhu tubuhnya menurun namun masih terasa hangat. Dia masih belum mau banyak makan, tidak mau jauh-jauh dariku, sampai Saga mengalah, dan memilih tidur bersama Dev dan Kean karena Rion ingin selalu bersamaku bahkan saat tidur. Rion, anak yang biasanya paling ceria, dan terlihat mandiri, sekarang makin menggemaskan karena sikap manjanya.
"Rion sayang, kepalanya masih sakit, nak?" Tanyaku ketika masih jam lima subuh, dan Rion tidak mau kembali tidur. Aku memutuskan membawanya ke ruang TV, duduk di sofa sambil memangkunya, saling berhadapan. Tubuhnya bersandar sepenuhnya padaku.
"Akit cikit. Cini akit buna." Adunya dengan suara pelan. Jari-jari gemuknya menepuk pelan puncak kepalanya. Hatiku rasanya seperti diiris mendengarnya merasa sakit. Aku masih ingat, ketika dia yang terakhir dikeluarkan dari perutku, aku menangis sejadi-jadinya karena tubuhnya yang paling mungil dibanding kedua kakaknya. Beratnya ketika itu hanya 1.500 gram. Terlihat ringkih, dan harus dirawat intensif hampir dua minggu. He's a little fighter.
"Bunda cium ya? Biar cepat sembuh." Aku mencium puncak kepalanya tiga kali. Rion tertawa senang dan mencium bibirku cepat. "Adek makan dong, biar cepat sembuh. Nanti kita jalan-jalan lagi kalo udah sembuh. Kita pergi makan es krim, pergi ke kebun binatang, sama ayah, sama kakak Kean dan kakak Dev. Tapi Rion makan dulu. Kalo nggak makan, nggak ada tenaga, nggak bisa cepat sembuh."
Rion menggeleng dan menepuk kedua pipiku pelan, mencubit hidungku terakhir memegang telinga. Meneliti wajahku lamat-lamat, seperti mencari sebuah harta karun. Aku mencium bibirnya dan menenggelamkan tubuh kecil itu dalam pelukanku.
"Rion, mau makan apa hari ini? Bunda masakin yang enak nanti." Aku masih membujuk Rion. Ini cara terakhir, membiarkan dia memilih apa yang dia mau makan.
Rion tampak berpikir sebentar, sungguh mirip ayahnya.
"Ion mawu cocik." Jawabnya dan mencubit kecil-kecil daguku.
"Mau sosis apa sayang? Ayam? Sapi?"
"Eemmm... Cocik buwawa."
"Hah? Sosis buaya?" Aku tertawa, begitu pun Rion. Ada-ada saja isi dalam kepala mungil ini.
"Buna, nyanji." Pintanya setelah selesai tertawa.
"Nyanyi apa yaaaa? Hmmmm, bunda nyanyi lagu satu-satu, ya." Aku memutuskan sambil menghentakkan kaki, hingga tubuh Rion ikut bergoyang. "Satu-satu, aku sayang..." Sengaja aku menggantung syair lagu agar Rion ikut bernyanyi.
"Ayah." Jawaban Rion membuatku pura-pura kesal.
"Sayang Ibu dong. Ulang, ya. Satu-satu, aku sayang?"
Rion kembali mengulang jawaban yang sama "Ayah."
"Dasar anak ayah." Aku mencubit pelan pipi gembulnya hingga Rion tertawa, merasa berhasil mengerjai bundanya. Tidak lama, aku mendengar suara pintu terbuka. Muncul Saga dari dalam kamar triplet, langsung tersenyum saat pandangan kami bertemu. Saga berjalan sambil menguap, mengecup bergantian puncak kepalaku dan Rion, memeluk singkat kemudian duduk di sampingku. Tanpa berkata, dia menepuk pelan pahanya, mengisyaratkan Rion agar duduk di pangkuannya. Tidak butuh waktu lama, Rion sudah berpindah pada Saga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Getting Married Yet?
RomanceSagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih single karena terlalu sibuk dengan kerjaannya. Sementara sang ibu selalu memaksanya untuk segera menikah dan mengancam akan berpindah kewarga...