Lalisa POV
"Lisa?" Suara Marly kembali menarik kesadaranku Ket tempat semula.
"I-iya?" Ucapku gugup. Aku tersadar dari kegamanganku. Selam penjelasan Marly yang panjang lebar, tidak ada yang bisa aku tangkap selain kata pre eklampsia. Momok mengerikan bagi ibu hamil.
"Lo masih bisa ngikutin penjelasan gue?" Tanya Marly khawatir. Aku menggeleng. Jujur saja aku sudah tidak sanggup mendengarkan karena aku ingin berbaring. Kepalaku semakin berdenyut cepat dan menyakitkan.
"Oke, nanti biar gue yang jelasin ke Saga. Lo istirahat aja dulu ya?"
Aku mengangguk sekali lagi dan berdiri, keluar dari ruangan yang menyesakkan. Aku berjalan pelan dengan diantar Marly yang membukakan pintu. Diluar, Saga yang tengah duduk langsung berdiri dan menghampiriku. Sebisa mungkin aku tersenyum padanya agar dia tidak khawatir meski rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya ketika tatapan kami bertemu. Aku tidak mau menambah beban pikirannya.
"Lisa harus istirahat," ucap Marly singkat. Saga hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih tanpa bertanya apa-apa lagi. Seperti telah mengerti. Sambil melingkarkan tangannya di pinggangku, Saga menuntunku menuju parkiran. Aku hanya bisa berjalan pelan karena pinggangku rasanya seperti akan patah. Jika dalam keadaan normal, perjalanan ke tempat parkir rasanya tidak akan sejauh ini.
"Aku mengalami pre eklampsia," ucapku memecah keheningan yang terjadi sedari tadi. "Aku mengalami tiga dari empat gejala utama,"
Saga masih menatap ke depan. Dia diam. Karena dia sudah tahu.
"Kamu sudah tahu," ucapku dengan pasti. Sekali lagi Saga hanya diam. "Semua ibu hamil beresiko mengalami pre eklampsia. Karena aku hamil triplets, resikonya lebih tinggi,"
Aku masih menunggu reaksi Saga. Dia masih tidak mau menatapku. Aku tahu, dia pura-pura berkonsentrasi menyetir. Dia masih mendengarkanku dengan baik.
"Tekanan darah tinggi, nyeri berlebihan, ada protein di hasil urin tadi. Aku didiagnosa pre eklampsia oleh Marly," aku juga ikut menatap ke depan, ikut berpikir. Rasanya baru kemarin aku begitu bahagia dengan kehamilan ini. Dalam semalam, duniaku jungkir balik. Aku ketakutan setengah mati. Tapi aku tidak ingin menunjukkannya pada Saga.
"Pre eklampsia sangat berbahaya jika tidak ditangani dengan tepat, hingga dapat menyebabkan kematian," aku berpaling dan tidak sengaja mendapati Saga menyeka matanya dengan kasar menggunakan punggung tangan. "Aku mungkin bisa dijadwalkan operasi lebih awal di minggu tiga puluh dua, dari perkiraan Marly sebelumnya di minggu tiga puluh enam," aku menghela napas pelan karena dadaku terasa sakit. Bagaimana keadaan anakku di umur tiga puluh dua minggu? Aku tidak sanggup harus melihat tubuh ringkih kecil itu keluar melihat dunia sebelum waktunya.
Saga masih saja diam dan menatap ke depan. Sesekali tangannya masih mengusap matanya lagi. Apa dia menangis? Aku tidak bisa melihat karena keadaan dalam mobil yang gelap.
Ini akan menjadi cobaan berat bagi kami berdua sebagai calon orang tua baru.
"Aku takut," lirihku pelan.
"Jangan takut," suara Saga tercekat. "Kamu dan bayi kita akan selamat. Saya jamin,"
Aku tertawa hambar "Kamu bukan Tuhan Ga. Kamu hanya Sagara, manusia biasa. Kamu nggak bisa menjamin hidup mati seseorang, termasuk aku,"
"Jangan drama, ini hanya pre eklampsia. Nggak usah ngomong hidup dan mati sama saya. Ada ibu hamil yang keadaannya lebih parah dari kamu yang sudah saya selamatkan dan masih hidup sehat bersama anaknya sampai sekarang. Kamu juga akan seperti dia," untuk pertama kalinya, aku merasakan amarah Saga dalam kalimatnya tadi. Dia, yang tidak pernah angkuh, terdengar bukan seperti Sagara yang aku kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Getting Married Yet?
RomanceSagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih single karena terlalu sibuk dengan kerjaannya. Sementara sang ibu selalu memaksanya untuk segera menikah dan mengancam akan berpindah kewarga...