Lalisa POV
Ternyata yang aku rasakan hilang selama ini setelah berpisah dulu adalah, kehadiran Saga dalam hidupku. Setelah kembali bersama, aku seperti benar-benar hidup. Apalagi yang lebih membahagiakan dari pada bangun pagi dalam pelukan Saga, membuatkannya sarapan, mengantarkannya sampai ke pintu ketika dia harus pergi pagi-pagi sekali ke rumah sakit karena ada operasi sesar, lalu diakhiri sebuah kecupan hangat di keningku sebelum berpisah.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa seorang Sagara dalam hidupku. Egois dan sering menerka-nerka tanpa bertanya atau lebih memilih membiarkan pikiran negatif menguasai diriku hampir saja membuatku berpisah darinya.
Ini sudah hari kedua kami tinggal di apartemen Saga karena Nares masih ada di apartemenku sendiri. Aku tidak mau jika kejadian memalukan waktu itu kembali terulang. Tapi kalau dipikir-pikir, kami selalu gagal jika akan melakukan hal itu. Sepertinya langit dan bumi tidak merestui. Hah, bahkan ketika kami hanya berdua, tidak ada waktu untuk menjurus ke sana. Begitu bertemu, kami seketika tertidur karena kelelahan. Mungkin, kami harus pergi bulan madu lagi.
Aku kembali menatap jendela yang basah karena hujan barusan. Langit lebih gelap dari biasanya malam ini. Situasi seperti ini membuatku begitu merindukan Saga. Padahal, kami baru saja berpisah dua jam lalu karena hari ini tugas Saga dinas malam di UGD.
Aku menghembuskan napas pelan, menyandarkan kepalaku ke sandaran sofa, mencoba untuk rileks sejenak. Rasanya sepi jika dia tidak ada disini. Ah, apa aku telpon dia saja? Aku sudah berdiri mengambil ponsel di atas meja, ketika bunyi pintu depan yang terbuka.
"Lho, kamu belum tidur?" Dia tampak terkejut saat memasuki ruang TV ketika mendapatiku sedang berdiri menunggunya.
"Aku baru bangun, mau ambil minum," Jawabku bohong. Karena sejak dia pergi, aku tidak bisa memejamkan mata barang sedetik. "Kamu mau minum apa? Sekalian aku ambilin,"
"Air putih saja," Sementara Saga memilih duduk di sofa, aku mengambil dua gelas air putih.
"Gimana operasinya lancar?" Saga menjawab dengan sebuah anggukan karena mulutnya penuh dengan air putih.
"Lancar, Ibu dan bayi sehat semua. Bayi laki-laki yang gagah seperti Ayahnya," ada terselip rasa bangga diantara kalimat Saga.
"Apa... aku juga akan dioperasi kalau aku hamil?" Aku merasa khawatir tiba-tiba "Aku takut jarum suntik, aku takut pisau bedah, aku takut darah," Aku langsung bergidik ngeri meski baru membayangkan.
"Kalau bisa melahirkan normal, tidak perlu operasi, sayang. Lagipula, saya akan selalu di samping kamu. Tidak ada yang perlu ditakutkan," Saga menarik satu tanganku dan menggengamnya dengan hangat, seperti menyalurkan kekuatannya agar menepis rasa takut ku.
"Tapi, kalau normal apa aku juga bakalan kesakitan? Apa aku nanti dijahit tanpa dibius?" Aku masih belum bisa tenang.
"Kamu pasti bisa melewati momen itu dengan berani. Kamu wanita yang kuat, apa pun akan kamu hadapi demi anak kita. Saya juga akan selalu ada di sana, kamu nggak akan sendirian. Jangan takut sayang," Kini aku berada dalam pelukan Saga. "Kamu sendiri, mau punya anak perempuan atau laki-laki?" Tanya Saga seperti mengalihkan rasa takut ku.
"Aku nggak tahu. Yang penting dia sehat, pintar, dan menyayangi kita apa adanya,"
"Saya juga punya pikiran yang sama dengan kamu," Saga diam sejenak. Dia menjauhkan kepalanya agar dapat menatap mataku. "Menurut kamu, di zaman milenial seperti ini, apa panggilan Ayah termasuk kuno?"
Aku tertawa sebentar mendengar pertanyaannya "Panggilan Ayah di zaman sekarang, nggak gaul menurut kamu?" Aku memperjelas. Dia mengangguk pelan. Aku mengerti maksud Saga. "Kamu mau dipanggil Ayah sama anak kita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Getting Married Yet?
RomanceSagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih single karena terlalu sibuk dengan kerjaannya. Sementara sang ibu selalu memaksanya untuk segera menikah dan mengancam akan berpindah kewarga...