Author POV
Dalam pelukannya, Lisa mencubit pipinya sendiri. Memastikan apakah ini mimpi, atau benar kenyataan.
"Sakit," Lisa meringis saat mencubit pipinya begitu keras.
"Mana yang sakit? Saya meluk kamu terlalu kencang?" Saga melerai pelukannya meski enggan, dan mengecek keadaan Lisa yang mengeluh sakit, takut jika dia melukai Lisa. Wanita itu menggeleng pelan, mengambil selangkah mundur, untuk menatap Saga yang khawatir. Dia masih belum percaya jika pria di hadapannya benar-benar Saga. Padahal tadi siang pria itu masih terbaring di ranjang rumah sakit.
"Kamu... Tahu aku masih di kantor dari siapa?" Lisa memalingkan wajahnya. Dia begitu merindukan pria ini. Tapi disaat yang bersamaan, perasaan marah masih meliputi hatinya.
"Saya tadi ke apartemen kamu. Yolan yang memberitahu kalau kamu masih di sini. Ada yang ingin saya bicarakan," jawab Saga dan menatap Lisa dalam meski wanita itu belum mau melihat matanya.
"Apa lagi yang ingin kamu bicarakan?" Tanya Lisa lagi dengan kalut. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Marly?
"Saya tidak bisa bicara di sini. Ikut saya," Saga mengulurkan tangannya pada Lisa. Wanita itu terdiam, menatap Saga dan tangannya yang masih terangkat secara bergantian.
Dalam hatinya mempertimbangkan apa akan mengikuti ajakan Saga atau tidak. Lama berpikir, Saga berinisiatif menarik tangan Lisa dan masuk ke dalam lift. Perasaan Lisa saja atau memang lift yang dimasukinya berjalan sangat lambat. Ditambah hanya berduaan bersama Saga. Seperti berada dalam sebuah video slow motion ala-ala film romantis. Jantungnya berdegup kencang, seperti habis berlari maraton. Jangan lupa juga, tangan Saga yang masih menggenggam erat tangannya. Sejak tadi, pria itu belum melepaskannya, entah sengaja atau memang lupa. Sekali lagi lift berdenting diikuti pintu lift yang terbuka otomatis.
Saga keluar sembari menarik Lisa yang mengikuti dengan sedikit tergopoh-gopoh karena Saga yang berjalan cepat.
Begitu sampai di mobilnya, Saga membukakan pintu penumpang untuk Lisa. Tanpa harus diperintah Lisa masuk ke dalam meski dengan rasa was-was. Memasang sabuk pengamannya, dan mengirimkan pesan ke Hendri yang tengah menunggu di depan bahwa pria itu boleh segera pulang. Setelah itu, Saga memutari mobil dan duduk di balik kemudi. Tidak butuh waktu lama, mobil melaju ke jalanan dengan kecepatan sedang.
Sepi. Satu kata yang menggambarkan suasana dalam mobil. Saga bingung, harus membicarakan topik apa untuk mengusir atmosfir aneh yang tercipta sejak memasuki mobil. Sedangkan Lisa sibuk memandang keluar jendela, demi menghindari Saga. Di kepalanya terus berputar pertanyaan tentang apa yang ingin Saga bicarakan. Jika ini semua tentang Marly, mungkin Lisa akan memilih segera pergi.
"Sudah makan?" Tanya Saga tiba-tiba hingga Lisa bergidik kaget. Tapi pria itu tidak melihatnya karena sibuk berkonsentrasi sambil menatap ke depan.
"Sudah," jawab Lisa pendek dan juga ikut menatap ke depan. Kemudian hening kembali. Saga kembali mencari sebuah pertanyaan agar suasana menjadi cair. Sungguh rasanya seperti orang asing. Atau, bisa Saga katakan, sama seperti mereka yang baru pertama kali bertemu sebelum memutuskan untuk menikah. Saga masih ingat. Lisa yang datang ke rumah sakit, menubruknya hingga mereka terjatuh dan berakhir di restoran dekat rumah sakit karena perutnya yang berbunyi karena kelaparan.
Sebuah senyum terpatri di bibir Saga saat mengingat kejadian itu. Bagaimana wajah Lisa bersemu merah seperti tomat, tingkah laku konyolnya atau ekspresi malu-malu ya, semua begitu membekas diingatan Saga. Oh, he's missed that moments.
Lisa yang tak sengaja menangkap Saga tengah tersenyum, berhasil membuatnya penasaran. Tidak mungkin dia bertanya, karena gengsinya yang tinggi.
"Sebenarnya kamu mau bicara di mana? Bisa kita bicara saja di mobil? Yolan lagi di apartemen aku. Kasian dia sendirian," Lisa akhirnya bersuara. Dia tidak ingin berduaan terlalu lama dengan Saga. Dia takut, melakukan sesuatu diluar kuasanya. Seperti, memeluk Saga sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Getting Married Yet?
RomanceSagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih single karena terlalu sibuk dengan kerjaannya. Sementara sang ibu selalu memaksanya untuk segera menikah dan mengancam akan berpindah kewarga...