Lalisa POV
"I'm sorry Max," ucapku penuh sesal ketika memberitahunya jika aku tidak bisa berangkat dan membuat uangnya hangus begitu saja. "Gue ganti uang tiket dan akomodasinya,"
"Nggak perlu lah, namanya bencana nggak ada yang bisa prediksi. It's okay, temen Lo lebih butuh kehadiran Lo sekarang," Jawaban Max membuatku lega.
"Thank you, Max,"
"Sure. Terus, next step Lo gimana? Apa butuh waktu lagi?"
"Iya, gue masih butuh waktu," gumamku dan menatap Yolan yang sedang tertidur. "Gue belum bisa ambil keputusan sekarang. Banyak yang gue pikirin, Max. Gue mau fokus ke Yolan dulu,"
"Oke. Gue tunggu kabar baik dari Lo. Pilih aja jalan terbaik menurut Lo, jangan terbebani pendapat orang lain. Ini hidup Lo, pernikahan Lo. Lo sendiri yang memutuskan apa akan berlanjut, atau selesai sampai di sini,"
Sambungan telpon terputus dan meninggalkanku dengan pikiran yang semakin rumit. Seharusnya jawabannya hanya ya, atau, tidak. Tapi sulit bagiku untuk menentukan, apalagi kehadiran Saga yang semakin intens disekitarku, membuat aku tambah kesulitan menentukan pilihan. Masih banyak pertimbangan sebelum aku menentukan nasib pernikahan kami. Salah satunya perasaan Saga terhadap Marly. Meski Saga mengaku jika dia hanya mencintaiku, tetap saja aku masih meragu.
Tapi jujur, kehadirannya disaat ini sangat aku butuhkan, karena aku yakin, tidak akan mampu menghadapi semuanya sendirian. Mungkin, jika kami benar-benar berpisah, justru aku yang akan menderita.
Aku mendengar pintu ruangan dibuka, dan ketika berbalik aku bisa melihat Rere berjalan cepat dengan mata merah, habis menangis. Begitu sampai di hadapanku, Rere menghambur memelukku, kami terisak bersama dengan pelan, jangan sampai mengganggu Yolan.
"Gimana Yolan?" Bisiknya sesekali terisak.
"Dia pingsan. Kata dokter shock ringan, tapi semuanya baik. Dia hanya tidur,"
"Apa yang terjadi? Yolan kenapa sebenarnya?" Kening Rere berkerut, wajahnya meminta penjelasan. "Lis, cerita sama gue,"
Aku rasa, Rere berhak tahu. Aku menelponnya dan hanya memberitahu jika Yolan pingsan. Dia begitu khawatir dan langsung datang ke sini.
Aku mengajaknya duduk di sofa, agar suara kami tidak menggangu Yolan. Aku berkata padanya, untuk mempersiapkan hatinya mendengar ceritaku. Dan, ketika aku menceritakan semua, mulai dari hubungan Yolan dan Marco, termasuk siapa yang menghamili Yolan, hingga bagaimana Yolan bisa berada di sini, Rere tercenung, tentu saja juga kaget bukan main.
"Gue berharap Marco mati," seperti biasa Rere dan mulutnya yang pedas.
"Re, apa Lo tega liat anak Yolan besar tanpa tahu ayahnya?" Aku memelas memintanya untuk mengerti meski sulit dicerna.
"Lebih baik dia nggak usah tahu siapa ayahnya. Biarin Yolan nikah sama pria lain yang lebih bertanggung jawab," sinis Rere "Daripada terjebak sama pria brengsek. Yolan bakalan menderita seumur hidupnya,"
"Biarin Yolan yang memilih," ucapku bijak. "Sekarang kita hanya bisa berdoa agar Yolan baik-baik saja. Gue masih takut, biar pun dokter bilang dia nggak apa-apa,"
"Oke," Rere setuju denganku. "Tapi, kalau sialan itu masih hidup, kita jangan biarin dia ketemu sama Yolan,"
"Meski Yolan mau ketemu sama Marco?"
Rere terdiam dan memalingkan muka dengan sebal.
"Lo bela Marco, ya?" Tuduhnya dengan mimik marah. "Gue nggak akan biarin Marco nyakitin Yolan lagi, Lisa. Langkahin dulu mayat gue," ucapnya berapi-api. Yah, beginilah aku beberapa hari yang lalu. Benci Marco, ingin dia segera hilang dari muka bumi ini. Tapi untuk saat ini, aku berharap dia baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Getting Married Yet?
RomantizmSagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih single karena terlalu sibuk dengan kerjaannya. Sementara sang ibu selalu memaksanya untuk segera menikah dan mengancam akan berpindah kewarga...