48

238K 12.6K 390
                                    

Lalisa POV

Benjamin: Aku udah di parkiran 😊

Sebaris pesan masuk dari Ben membuatku mengulas sebuah senyuman. Pria yang selalu bisa aku andalkan.

Benjamin: Banyak barang? Biar aku ke sana bantu angkat

Lalisa: Thank you Ben tapi nggak perlu karena barang Yolan nggak banyak. Thank you once again udah mau repot jemput kami

Benjamin: My pleasure. Aku senang bisa berguna untuk kamu 😘

Sekali lagi Ben membuatku tersenyum dengan sendirinya.

"Temen gue udah di bawah. Udah semua barangnya?" Aku menatap Yolan yang menutup tasnya. Sore ini dokter memperbolehkan Yolan pulang karena keadaanya sudah membaik. Rasa kram diperutnya sudah hilang sama sekali. Janinnya juga baik-baik saja dari hasil USG. Aku bisa sedikit tenang. Karena, sebelumnya aku masih saja ketakutan terjadi sesuatu meski dokter bilang semuanya normal. Bahkan, aku memutuskan bolos kerja hari ini demi menemani Yolan. Selain karena tidak ada yang menjaganya, percuma juga aku kerja karena pasti tidak akan fokus. Pikiranku akan selalu ada pada Yolan.

Hanya Rere yang masuk kerja dan baru pulang malam. Dia akan menyusul ke apartemen Yolan nanti.

"Temen siapa?" Tanya Yolan penasaran. "Cowok? Cewek?"

"Nanti gue kenalin di bawah," jawabku membuat semuanya semakin misterius. Yolan hanya mengangkat bahunya masa bodo. Setelah semuanya selesai kami menuju lobby rumah sakit. Di depan pintu masuk, sebuah Porsche Cayman merah sudah terparkir rapi. Ben keluar dari mobilnya, menghampiri kami. Dengan sigap, tas yang aku pegang sudah berpindah ke tangannya. Yolan menatapku penuh selidik, lalu mengacungkan jempol dengan antusias.

"Nemu di mana laki kayak gini?" Bisiknya sambil menangkup salah satu tangan di depan mulutnya agar Ben yang jaraknya dekat dengan kami, tidak mendengar apa yang sedang Yolan gunjingkan. Dia hanya tersenyum sambil menatap kami berdua dengan bingung. Hari ini Ben begitu tampan dengan t-shirt berwarna soft pink yang semakin memancarkan ketampanan seorang Ben. Tapi, kenapa aku tidak pernah sekalipun jatuh dalam pesonanya.

"Oh, ya Ben. Kenalin ini Yolan teman SMP aku," aku memperkenalkan Yolan pada Ben tanpa menjawab pertanyaannya tadi. "Yol, ini Ben rekan bisnis gue,"

Mereka saling berjabat tangan seraya menyebutkan nama masing-masing.

"Can we go now?" Ucap Ben yang diikuti anggukanku sebagai jawaban.

"Lo di belakang, gue mau duduk di depan," Yolan menahan tanganku saat membuka pintu depan. Dia menarikku agar mundur, sehingga dia bisa masuk ke dalam, duduk tepat di sebelah Ben. What??? Kenapa dia jadi kecentilan gini? Biasanya, diantara kami bertiga Yolan yang paling cuek dengan namanya pria. Diantara rasa kaget dan kesalku, aku kembali tersadar dan terpaksa duduk di belakang.

"Aku di depan ya, Ben. Kalo duduk di belakang suka mual," Yolan melirikku sekilas, kemudian tersenyum dibuat-buat kepada Ben. Ternyata benar, ya, kata orang-orang. Kehamilan bisa membuat seseorang berubah drastis.

"It's okay," seperti biasa Ben yang baik hati tidak akan mempermasalahkan. Perlahan mobil bergerak menuju jalanan, diriingi lagu-lagu yang diputarkan sebuah stasiun radio. Meski baru bertemu hari ini, Yolan dan Ben seperti dua orang yang sudah lama saling kenal. Tidak heran lagi. Ben adalah jenis orang yang easy going, sehingga aku tidak heran jika dia bisa membuat Yolan tertarik padanya. Ben membuat obrolan mengalir dengan alami, sesekali aku menambahkan. Apalagi saat Ben menceritakan pengalaman lucunya, Yolan tidak bisa berhenti tertawa hingga menangis, membuatku tersenyum. Lagi-lagi, Ben membuat tugasku menjadi lebih mudah.
***
"Terima kasih, ya, Ben. Kapan-kapan kita jalan lagi," ucap Yolan setelah kami turun dari mobil Ben.

Are We Getting Married Yet?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang