28

273K 15K 578
                                    

Author POV

Saga terus melirik jam dinding yang tergantung tepat di atas TV. Jari-jarinya terus menekan remote mengganti saluran TV tanpa minat. Sudah jam 11 malam. Tapi Lisa belum juga pulang. Tidak biasanya dia gelisah seperti sekarang jika Lisa belum pulang selarut ini. Dalam pikirannya, istrinya kemungkinan besar sedang berduaan dengan rekan kerjanya. Mungkin hingga saat ini. Itu yang membuatnya tidak tenang.

Saga terlonjak dari sofa saat mendengar suara mesin mobil. Langkah kakinya setengah berlari mendekati ruang tamu, mengintip dari balik gorden. Seketika Saga merasa lega saat melihat Lisa keluar dari mobil sendirian. Begitu Lisa menginjakkan kaki di teras, Saga kembali berlari secepatnya ke ruang TV dan meloncat ke atas sofa. Seakan tidak terjadi apa-apa. Langkah kaki Lisa terdengar semakin dekat setelah pintu ditutup. Entah kenapa jantungnya ikut berdegup lebih cepat.

"Baru pulang?" tanya Saga, mencoba bersikap ramah mengesampingkan perang dingin yang sedang berkobar.

"Iya. Kamu belum tidur?" Lisa berhenti sebentar di tempatnya.

"Sebentar lagi,"

"Aku ke atas dulu," pamit Lisa sebelum Saga kembali membuka mulut dan menapaki tangga menuju kamarnya. Padahal, bisanya Lisa akan ikut bergabung, untuk sekedar berbincang tentang kegiatan hari ini. Atau, Lisa akan memasak kudapan ringan jika dirinya lapar.

Saga terpaku di tempatnya. Lisa masih marah. Padahal, banyak yang ingin ditanyakan. Termasuk siapa pria asing tadi siang. Lagi-lagi dia menghela napas panjang, seperti menjadi kebiasaan baru seharian ini. Seakan dengan begitu baru hatinya terasa sedikit lega.

Saga berjalan gontai ke arah dapur dan membuka tudung saji di atas meja makan. Ada sepiring nasi goreng-mungkin lebih mirip sayuran sisa yang dipaksa digoreng bersama nasi-yang sudah dimasaknya dari 3 jam yang lalu. Sudah dingin tentunya. Rencananya sebagai tanda damai untuk Lisa. Saga termenung, kemudian memilih menghabiskan nasi goreng tersebut dalam diam.
***
Sarapan hari ini tidak jauh berbeda dengan kemarin. Tidak ada obrolan ringan, atau sekedar senda gurau para penghuni rumah seperti hari-hari normal sebelumnya. Hanya terdengar sesekali dentingan sendok dan piring yang beradu. Lisa menatap Saga yang sibuk menunduk menghabiskan lasagna.

"Ga," akhirnya Lisa memberanikan diri membuka percakapan. Saga mengangkat kepalanya menatap Lisa dengan cepat. Seperti sedang menunggu dari tadi Lisa mengajaknya bicara.

"Aku minta maaf," mata Saga melebar sesaat. Sedikit terkejut karena Lisa meminta maaf duluan. "aku rasa, aku berlebihan menanggapi jawaban kamu soal anak. Kamu benar. Terlalu cepat buat kita untuk membahas soal anak sementara kita baru saling kenal," Saga tersenyum begitu lebar hingga matanya berkerut. Akhirnya, Lisa mengerti apa yang Saga rasakan. Bahunya terkulai lega, tidak perlu drama panjang untuk masalah kali ini. Sebentar lagi mereka akan berbaikan.

"Dan," sambung Lisa "kita nggak mungkin punya anak sementara tujuan pernikahan ini hanyalah untuk sebuah status. Di mana suatu saat kita akan bercerai," senyum Saga hilang seketika. Wajahnya terlihat tegang. Tidak, bukan ini yang ingin dia dengarkan. Bukan seperti ini. Ekspresi Lisa berubah muram.

Lisa menarik napas berat sebelum melanjutkan "mungkin kita hanya perlu bersabar menghadapi para orang tua dan terus mencari cara agar menghindari pertanyaan soal anak sampai waktu cerai tiba,"

Saga masih diam. Tidak tahu harus berkata apa. Banyak yang ingin dia katakan tapi lidahnya terasa kelu. Dia memilih tersenyum kemudian mengangguk setuju meski ada rasa tak rela di dalamnya.

"Iya, kamu benar," ulang Saga dengan nada pahit. Nafsu makannya tiba-tiba hilang, padahal lasagna Lisa begitu lezat dan masih bersisa banyak.

Are We Getting Married Yet?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang