53

288K 15.4K 841
                                    

Lalisa POV

Selama perjalanan ke apartemenku kami lebih banyak diam. Sesekali berbicara, namun setelah itu kembali hening. Mungkin, dia juga masih kesal karena menabok mukanya setelah mencoba untuk menciumku. Enak saja, baru ketemu udah main nyosor? Ini juga pelajaran untuk Saga sebenarnya. Mungkin aku sedikit keterluan, tapi ekspresinya lucu sekali tadi. Hehehe.

"Terima kasih," ucapku tanpa melihatnya saat berhenti di depan lobby apartemen. Baru saja memegang gagang pintu mobil, tanganku ditahan Saga.

"Kamu masih marah?" Tanyanya pelan. "Seharusnya saya jujur dari awal sama kamu tentang Marly, dan tidak mengetahuinya dari orang lain,"

"It's okay," jawabku pendek, sebenarnya masih marah, sih. Tapi melihat Saga menangis, aku jadi tidak tega. Apalagi, dia mengatakan masih mencintaiku. Tetap saja, aku masih ragu. Apalagi, Saga dan Marly masih satu tempat kerja. Intensitas bertemu mereka semakin tinggi. Bisa jadi, dia berubah pikiran dan-

"Apa pun yang kamu pikirkan sekarang, percayalah, saya hanya mencintai kamu. Bukan hanya sekedar kata, tapi semuanya berasal dari sini," Saga membawa satu tanganku menuju dadanya, merasakan, betapa cepat jantungnya berdetak. Sama seperti punyaku saat ini. Aku hanya mengangguk, tidak sanggup berkata apa-apa untuk saat ini.

"Saya sayang kamu," ucap Saga lagi dan membawa punggung tanganku ke depan bibirnya. Mengecup agak lama. God, rasanya aku meleleh saat ini. Tapi tetap saja aku memasang ekspresi datar meski dalam diriku rasanya meledak-ledak.

"Sekali lagi terima kasih udah antar aku," akhirnya hanya itu yang bisa aku ucapkan dan pergi secepat yang aku bisa sebelum dia melihat wajahku yang merah.

Terdengar deru mesin yang menjauh, saat aku berbalik mobil Saga sudah menghilang sebagian. Aku berlari dan mendekati pintu kaca, melihat mobilnya kini sudah diluar jangkauan penglihatanku.

"Aduh, bisa jantungan kalau begini terus," aku menarik napas mencoba menenangkan diri. Namun akhirnya tersenyum seperti orang bodoh. Besok apa kami akan bertemu lagi ya? Gengsi kalau aku harus menghubungi Saga duluan.

Aku kembali berjalan menuju lift sambil tidak berhenti tersenyum mengingat apa yang telah kami lewati tadi. Bahkan, aku harus tertunduk menyembunyikan tawaku saat mengingat Saga yang mencoba menciumku. Orang-orang di dalam lift bisa berpikir kalau aku gila ya? Tapi memang aku sedang gila sekarang. Gila karena mau mencoba sekali lagi bersama Saga. Ah, aku kan sebenarnya masih berpikir? Antara akan memberinya kesempatan atau tidak. Argh, entahlah! Aku pusing, ingin makan dan-

"Lho Marco?" Aku sedikit terkejut saat melihat pria itu duduk di lantai, tepat di samping pintu apartemenku. Entah berapa lama dia ada di sini.

"Hai, baru pulang kantor?" Marco langsung berdiri saat melihatku. Tangan kanannya terlihat menggengam kantong plastik berisi barang-barang entah apa.

"Iya. Ngapain Lo disini?" Selidikku masih belum menerima kehadirannya.

"Oh," ujarnya "Tadi gue lihat status Yolan. Dia lagi pengen makan bubur ayam langganan dia. Gue ke apartemennya, nggak ada orang. Jadi gue yakin dia ada di sini,"

" Ya udah, sini biar gue bawa masuk," aku sudah mengulurkan tangan, menerima kantong plastik tersebut. Tapi Marco masih diam, tidak ada tanda-tanda jika dia akan menyerahkan padaku.

"Boleh... Gue yang kasih ke dia langsung?" Tanya Marco ragu.

Aku mendesah pelan. Masih saja dia keras kepala. "Marco, Lo pilih deh. Gue yang bawa makanan ini dan Lo tahu pasti keberadaan Yolan, atau, Lo paksa ketemu dia hari ini, tapi nggak ada jaminan dia masih tetap ada di sini besok," tekanku.

Are We Getting Married Yet?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang