26

138 15 0
                                    

Qonita duduk ditepi ranjang. Ia meluruskan kakinya yang lumayan pegal. Qonita menghembuskan napas lega. Tak ada hal yang lebih melegakan baginya setelah beberapa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya seminggu ini.

Flashback

Selesai mengganti gaun yang digunakannya dengan gamis yang diberikan laki-laki bernama Furqon itu, Qonita kembali melangkah masuk ke dalam mobil. Ia memakai gamis namun tidak dengan kerudungnya.

"Kenapa khimarnya tidak dipakai?"

Hening. Tak ada jawaban dari Qonita.

"Pakailah kerudungmu, rambut adalah aurat bagi wanita. Sehelai saja yang kamu tampakkan pada laki-laki yang tidak halal bagimu itu termasuk dosa besar." Ada jeda diantara kalimat Furqon. "Aku juga tidak halal untukmu Qonita."

Qonita hanya diam. Menunduk, menatap kerudung yang masih ada di pangkuannya.Warna yang sangat cantik, merah muda. Senada dengan pakaiannya saat ini.

Qonita menggeleng.
"A...aku tidak bisa."

"Kenapa?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
"Menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap perempuan."

"Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka !' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Q.S. Al Ahzab (33): 59]"

"Zahra."
Gumam Qonita tanpa sadar. Sahabatnya, Zahra juga pernah membacakan ayat yang sama seperti yang Furqon bacakan. Entah kenapa mengingatnya membuat perasaan Qonita menjadi tak karuan.

"Apa?"

Qonita menggeleng, mengerjap beberapa kali. Masih menatap lama kerudung dipangkuannya. Perlahan, tangan Qonita bergerak turun.

Furqon langsung menoleh setelah Qonita memakai kerudung yang diberikannya. Kedua sudut bibir Furqon terangkat ke atas, merasa sangat bahagia karena gadis di sampingnya ini mau mendengarkan ucapannya. Qonita terlihat semakin cantik dimatanya.

Furqon memejamkan mata, kembali menatap ke depan. Ia tidak boleh memandangi wajah Qonita terlalu lama karena itu hanya akan menjerumuskannya ke perkara zina.

Zina mata dan hati. Zina mata karena ia tidak bisa menundukkan pandangannya dan zina hati karena dirinya memandang lawan jenis dengan perasaan senang.

"Kita ke Rumah Sakit, lukamu perlu diobati."

"Tidak, aku...tidak apa-apa. Aku sudah membersihkannya."
Balas Qonita, ia memang sudah membersihkan lukanya dengan air saat mengganti pakaian tadi.
"Wa, wajahmu...sepertinya lebih parah."

Entah kenapa tiba-tiba saja Qonita mendadak gugup.

Furqon tersenyum lembut, membuat Qonita bertambah gugup saja.
"Kita berdua ke Rumah Sakit. Nanti takutnya infeksi, kita ke rumah sakit saja ya?"

Qonita didera kebingungan.
"Tapi,"
Qonita kembali memandang Furqon lama. Wajah pria itu penuh lebam. Ia tidak tahu lagi bagian tubuh Furqon mana saja yang terluka. Tapi melihat wajahnya saja membuat Qonita meringis ngilu.

"Baiklah."

Senyum Furqon merekah. Ia menghidupkan mobilnya kembali. Sekarang tujuan mereka adalah rumah sakit.

*****

Qonita sedang menunggu namanya dipanggil untuk diperiksa. Untunglah, luka di tubuhnya tidak terlalu parah. Hanya luka lecet ringan disepanjang tubuh dan kepalanya yang terasa pusing karena berbenturan langsung dengan trotoar.

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang