39

77 8 6
                                    

Sinar mentari pagi ini begitu cerah bahkan bisa dibilang menyilaukan mata. Namun, seorang  gadis tengah berdiri di balkon rumahnya. Menampakkan pemandangan di sekitar komplek perumahan mewah itu.

"Sayang, Zahra ada di bawah."
Ucap Fatimah.

Fatimah sedari tadi sudah memanggil Qonita dan mengucapkan salam. Tapi tidak ada sahutan dari dalam. Pantas saja Qonita tidak mendengar panggilannya. Ternyata gadis itu sedang berdiri di balkon kamarnya.

Qonita menghirup udara pagi yang terasa begitu menyegarkan. Ia kemudian berjalan mendekati Fatimah.

"Tolong bilang ke Zahra untuk menungguku sebentar Umma. Aku akan membuatkannya minuman."

"Tidak usah, umma sudah membuatkannya."

"Apa Zahra sudah lama menungguku?" Tanya Qonita.

Padahal ini masih lumayan pagi dan sekarang pukul delapan.

"Tidak, Zahra baru saja datang. Tadi umma langsung membuatkannya minuman."

"Seharusnya aku saja. Nanti umma capek."

Qonita berulang kali menyuruh Fatimah untuk mempekerjakan seorang Asisten Rumah Tangga. Tapi Fatimah selalu menolak dengan mengatakan jika ia masih kuat.

Qonita sangat kasihan melihat ibu sambungnya itu. Fatimah mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Mencuci, memasak dan mengurus rumah yang sangat besar itu. Untung saja saat ini Qonita sudah kembali sehingga ada orang lain selain Fatimah yang membantu mengurus rumah. Adam pun memiliki pemikirkan yang sama dengan Qonita tapi Fatimah tetap kekeh jika dirinya masih kuat. Bahkan untuk mempekerjakan pembantu saja Qonita pikir harus lebih dari satu orang.

"Umma sangat senang mengurus rumah dan kalian. Umma bahagia. Kalian adalah harta berharga umma."
Ucap Fatimah saat Qonita protes padanya waktu itu.

"Saat aku tidak ada nanti kumohon pekerjakan pembantu saja untuk membantu umma."

"Apa kamu tidak mau lagi datang ke rumah ini sayang?" Tanya Fatimah dengan wajah sedih.

"Tidak umma, aku akan selalu datang ke sini. Jika perlu aku akan mengunjungi umma dan ayah setiap hari jika suamiku mengizinkan."

Qonita memeluk Fatimah erat.
Kenapa saat ini semuanya terasa berat? Qonita bahkan tidak ingin pergi sekarang.

"Iya, sudah turun sana. Kasihan Zahra nanti nunggu lama. Jangan lupa acara kita hari ini sayang."

Qonita mengangguk. Ia sangat ingat dengan rencana mereka hari ini.
Nanti setelah shalat Zuhur Qonita akan fitting gaun pernikahannya dan mereka akan berbelanja untuk menyambut keluarga calon mempelai pria hari ini. Qonita akan bertemu dengan calon suaminya. Memikirkannya saja membuat kepala Qonita berdenyut nyeri.

Qonita menuruni anak tangga. Ia tersenyum dari atas sana saat melihat sahabatnya itu sedang duduk manis menunggunya.

Langkah kaki seseorang membuat Zahra mendongak.

"Assalamualaikum."

Zahra berlari kecil lalu menghamburkan diri memeluk Qonita.

"Waalaikumsalam."

Qonita membalas pelukan sahabatnya itu. Mereka berpelukan cukup lama padahal tiga hari yang lalu Qonita dan Zahra baru saja bertemu. Mereka berdua pergi ke Surabaya untuk menemui Aisyah. Saat tiba di sana Qonita dan Zahra sangat terkejut melihat kondisi Aisyah. Gadis kecil yang dulu sangat menggemaskan kemarin tersenyum lemah dengan tubuh yang mengurus. Aisyah berlari memeluk Qonita, tetap ceria seperti dulu. Aisyah bercerita tentang semua kejadian enam tahunnya tanpa Qonita. Termasuk penyakitnya.

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang