01

397 32 1
                                    

Dia, gadis remaja yang selalu tampak tenang. Bukan karena dirinya yang selalu merasa bahagia atau tidak memiliki masalah tapi karena hatinya yang sudah lama membeku.

"Sudah mau berangkat sayang?" Tanyanya lembut. Ibunya,
mungkin lebih tepat ibu sambungnya.

Gadis itu tidak menjawab ataupun menatap wajah ibu sambungnya itu,
Fatimah. Hanya diam, seperti biasanya seolah tidak ada yang mengajaknya berbicara.

Selalu seperti itu bahkan sudah menjadi hal yang lumrah bagi Fatimah. Keponakan sekaligus
anak tirinya Alqonita Fatin sama sekali tidak menganggapnya berbicara. Bahkan tidak menganggap keberadaannya.

Fatimah hanya tersenyum lemah melihat sikap Qonita yang dulu sangat ceria tapi sekarang semakin hari layaknya tidak tersentuh. Ya, Qonita keponakannya yang dulu ceria namun seketika semuanya sirna, semenjak hal buruk menimpanya, bahkan sangat buruk. Yang merenggut senyum ceria yang selalu terukir di wajah cantiknya dan
segala yang ada di sekitarnya layaknya mati.

Adam hanya menatap sendu keadaan putrinya. Ia sungguh merindukan putrinya yang dulu.

Yang selalu bergelayut
manja padanya. Yang selalu merengek dan merajuk padanya. Sungguh itu adalah hari-hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya.

Namun segera ia hilangkan perasaan itu dan memasang wajah berbinar bahagia, yang selalu ia tampakkan.

"Ayah antar ke sekolah selesai sarapan ya?"

Senyum penuh kasih sayang tak pernah lekang dari wajah pria paruh baya itu.

Qonita masih betah dengan posisinya. Ia tetap tidak menatap ataupun bicara, hanya anggukan kepala yang selalu menjadi jawaban.

"Baiklah, habiskan sarapanmu."

Selang beberapa menit, Qonita berdiri dari tempat duduknya. Makanannya pun sudah bersih diatas piringnya. Pertanda bahwa ia akan berangkat kesekolah.

"Aku naik taxi,"
Hanya kata itu yang bisa di lontarkan olehnya yang terkesan dingin.
"Ayah belum menghabiskan sarapan."

Adam tersenyum bahagia, merasakan putrinya yang masih peduli padanya.
"Ayah sudah selesai."

Qonita melirik piring ayahnya yang masih tersisa, walaupun sudah habis melebihi setengahnya.

"Bunda akan sedih jika ayah tidak menghabiskan sarapan."
Ucapnya datar namun Adam bisa melihat raut kesedihan dari mata Qonita.

Dada Adam terasa sesak mendengar perkataan putrinya. Qonita masih saja mengingat bundanya, Zahra. Wanita yang dicintainya itu telah pergi meninggalkan dirinya dan Qonita untuk selama-lamanya.

Sungguh sikap tak acuh Qonita membuat Adam merasa gagal mendidik putri semata wayangnya itu.

Qonita menggeser kursinya ke belakang lalu berjalan menuju Adam dan Fatimah untuk menyalami mereka . Walaupun ia bersikap dingin selama ini tapi ia tetap menghormati keduanya. Meskipun tanpa ada kata-kata yang mengawali.

Fatimah tersenyum lembut mengelus rambut panjang Qonita yang tergerai indah. Qonita hanya diam mendapatkan perlakuan Fatimah. Ia tidak mengelak ataupun menyukainya, hanya membiarkan apapun yang ingin wanita itu lakukan.

                        ********

Qonita menyusuri lorong sekolah dengan langkah pelan. Tatapan lurus dan hanya bunyi ketukan sepatunyalah yang terdengar di sepanjang lorong sekolah yang masih sangat sepi itu.

Qonita melangkah menuju ruang TU. Ia akan menanyakan dikelas mana ia berada saat ini

Tok
Tok
Tok

CAHAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang