14. My Little Bother (1)

2.9K 282 107
                                    

👻👻👻

.

.

.

.

.

Gue mencoba bicara baik-baik sama Mas Yilay soal kehadiran Kinan di rumah ini. Kedatangan anak ini bener-bener di luar dugaan gue juga. Apalagi Mas Yilay yang nggak tau apa-apa. Awalnya ia sempet protes karena gue mengijinkan bocah ini tinggal di sini.

"Alice. Kamu serius itu murid kamu tinggal di sini? Bapaknya juga ngasal banget. Mau pergi ke luar kota aja kan bisa di titpin keluarganya yang lain. Saudara atau nenek misalnya. Kok malah ke gurunya sih?"

Gue mendesah meredam letupan emosi gue soal ketidaktahuan Mas Yilay tentang keluarga Kinan. "Mas, dia cuma tinggal sama Papahnya. Keluarganya jauh di luar negeri. Dia nggak punya nenek maupun kakek. Ibunya meninggal. Mas nggak kasihan sama dia?"

"Iya kan bisa aja nyewa baby sitter?" celetuk Mas Yilay yang nggak mau kalah sama gue.

"Jaman sekarang nitipin anak ke baby sitter itu riskan kalau kita nggak begitu kenal dan nggak tau asal-usulnya. Yang bener-bener sudah mengabdi bertahun-tahun aja ada yang jahat." gue mencibir setelah itu. Mas Yilay beneran nyebelin. Untung si Kinan nggak denger. Dia gue suruh duduk di ruang tamu dan kami berdebat di dapur. Bicara dengan nada rendah itu cukup melelahkan pita suara gue.

"Trus?" desak suami gue.

"Cuma seminggu Mas. Papahnya juga nitipin uang untuk memenuhi kebutuhan anak itu. Dia mau tinggal di sini juga atas permintaan Kinan." gue semakin merendahkan nada gue. Wajah gue nggak berani mengadah menatap Mas Yilay. Gue cukup terintimidasi dengan tatapannya. Salah gue juga selama ini nggak pernah cerita kalau ada anak didik gue yang selalu nempelin gue ke mana-mana.

"Dia pasti deket sama kamu?" ucap Mas Yilay di tengah keheningan kami. Gue menggangguk. Tebakannya selalu bener.

Dia megang pundak gue, menepuknya sebentar lalu mengelus lengan gue. "Ya udah, Mas ijinin dia tinggal.-"

"Beneran Mas?" sahut gue menyelanya.

"Tapiii...-"

Gue yang kegirangan tadi mendadak terdiam. "Dia harus tidur di kamar lain." gue cuma nyengir sih. Gue tau maksud Mas Yilay bilang begitu.

"Iya." ucap gue dan Mas Yilay langsung ngusap pipi gue dan hampir mencubitnya. Sentuhannya lembut hingga buat gue melayang-layang. Gue seneng dia balik lagi lembut kayak sebelumnya.

Sambil nunjuk-nunjuk perut polosnya gue bilang, "Tapi Mas pakai baju dulu. Ntar aku kenalin ke dia. Malu ah, dia kan cewek!"

Gue tau Mas Yilay akan lebih ganteng kalau tersenyum.

Gue nungguin sebentar Mas Yilay yang lagi nyari bajunya dan gue ngambilin air minum buat anak itu. Anak-anak biasanya suka minum yang manis, jadi aku buatin sirop.

"Kinan! Maaf ibuk ninggalin kamu lama. Ini ibuk buatin minuman. Minum dulu ya?" ucap gue sembari menyodorkan gelas yang berisi air berwarna merah itu padanya. Dia yang tadi megangin boneka kelinci langsung meletakkan mainan itu di sampingnya dan ngambil gelas dari tangan gue. Gue tau dia kehausan. Gue juga keterlaluan sih, harusnya begitu dia dateng langsung gue kasih minum tadi.

"Enak?" tanya gue. Dia pun cuma ngangguk dan nyerahin gelas setengah kosong itu ke gue. Duh manis banget kalau diem begini.

Mana nih Mas Yilay? Nggak kelar-kelar pakai bajunya. Kayak ketemu gebetan aja?

MY HUSBAND IS A VAMPIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang