Piece of 1

491 27 28
                                    

Sudah pukul empat sore. Mestinya sesuai kesepakatan wanita itu sudah berada di danau tiga puluh menit yang lalu. Apa mau dikata perjalanan dari Toamasina ke Antananarivo memakan tujuh jam lebih. Belum lagi bus yang harus berhenti di beberapa tempat.

Mayang terus memacu langkah. Busana yang panjang agak menyusahkan laju jalannya. Wanita itu beberapa kali membenarkan hijab yang tertiup angin. Lake Anosy sudah berada di depan mata. Lake Anosy sendiri adalah danau buatan yang berada di selatan Antananarivo–sekitar dua mil selatan Haute-Ville. Danau ini luas dan berbentuk hati. Dibangun oleh James Cameron pada tahun 1830. Di tengah danau terdapat pulau kecil, yang dihubungkan dengan tanah genting hingga tepian danau. Di pulau itu terdapat Monument aux Morts. Monumen ini didirikan Prancis untuk memperingati prajurit yang gugur selama Perang Dunia Pertama. Mayang memperhatikan jam di pergelangan tangan, menghitung berapa lama dia terlambat.

Sebetulnya Mayang tak menaruh harapan besar untuk datang ke Lake Anosy. Namun sejak semalam kesepakatannya bersama pria asal Turki setahun lalu, berkelebat di kepala. Pertemuan tak sengaja mereka sudah membangun banyak cerita. Dan di Lake Amosy–tepat sore ini–mereka sepakat untuk berjumpa kembali.

Langkah Mayang memelan. Wanita itu sudah berada di tepi danau. Mayang memandang sekeliling. Di bangku tempat mereka berjanji tak ada satu orang pun yang duduk. Syukurlah, berarti dia orang pertama yang datang. Sore itu danau kelihatan indah, mungkin efek matahari sore yang mulai menguning. Di sekitar beberapa orang berseliweran. Mayang memutuskan duduk di bangku.

20 menit berlalu. Batang hidung orang yang ditunggu tak tampak. Barangkali sebentar lagi, Mayang menenangkan diri.

Sepuluh menit berikutnya, Mayang jadi gelisah. Ini sudah jam 5 lewat. Dan belum ada tanda-tanda. Apakah mungkin dia datang?

Mayang mondar-mandir di tepi danau. Rasa-rasanya pria Turki itu tak akan datang.

Wanita itu duduk lagi. Kali ini Mayang mengentak-entakkan kaki. Kegelisahannya melipat ganda.

Benar sampai detik ini dia tidak muncul. Berarti?

Mayang bangkit. Wanita itu menuju bibir danau. Awan yang tercetak di permukaan air jadi fokus penglihatan. Harusnya dia tak pernah percaya kalau pria itu akan menepati kesepakatan mereka. Bukankah mereka hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu? Tak ada komitemen di antara mereka. Dan bodohnya kenapa Mayang bisa segitu percayanya janji itu dan mau ke Lake Anosy hari ini.

Hari makin senja. Mayang merasa batas penantiannya sudah di limit terakhir. Menunggu pria yang tak pasti kembali adalah kesia-siaan. Wanita itu sadar, tak ada pria manapun di dunia ini yang mau menaklukkan jarak ribuan mil hanya untuk sebuah janji sepele. Mayang kemudian memundurkan langkah. Dia harus kembali ke Toamasina sebelum bus terakhir pergi.

"Mayang?" -sebuah suara terdengar.

Mayang yang sudah berada di bulevar danau, berhenti. Dia tak yakin akan suara itu. Namun di Antananarivo tak satu orang pun yang mengenalnya.

Wanita itu menolah.

"Sedang apa kau di sini?"

Tubuh Mayang melunglai. Ternyata orang yang menyapa bukanlah pria yang ditunggu. Yang tampak di depannya adalah pria berwajah Asia, berkulit terang. Badannya agak tambun. Sebagian rambutnya memutih. Beliau bersetelan rapi. Bapak ini adalah Paman Bienvenu, tetangga Mayang di Toamasina.

"Kok bisa Paman Bien di sini?"

"Jangan balik nanya dong."

Mayang tertawa. "O iya. Aku hanya ingin jalan-jalan di Antananarivo. Butuh suasana baru."

"Paman sedang mengerjakan proyek baru di sini. Tadi setelah pertemuan dengan relasi, paman berniat cari suasana enak. Makanya paman ke sini." Kini jarak mereka sudah berdekatan. "Kau akan langsung balik ke Toamasina?"

Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang