1.1 Sandiwara Terkonyol

1.8K 70 2
                                    

Musik berdentum keras beserta tubuh meliuk-liuk di pelbagai penjuru kelab malam di sudut kota Jakarta. Bartender tak henti-henti meracik minuman untuk para pelanggannya tercinta.

Di sudut kelab itu, aku berdiri sambil bersandar pada dinding. Dengan sebatang rokok yang kusesap kemudian kutiupkan asapnya dengan gaya menggoda. Mataku berjelajah mencari pria yang akan menjadi pelangganku malam ini. Yap, aku memang jalang, aku pelacur, yang akan tidur dengan pria yang akan membayarku. Tapi maaf, aku bukan pelacur yang akan tidur dengan sembarang pria. Aku memiliki kriteria sendiri dalam menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh tidur denganku. Angkuh? Itu nama tengahku.

Jangan tanyakan mengapa aku berubah sedemikian rupa. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk ulat bermetamorfosa menjadi kupu-kupu. Aku bukan lagi Shalena yang dulu. Shalena lugu yang hanya diam saat orang lain menindasku. Aku Shalena yang tangguh sekarang. Shalena yang pantang meneteskan air mata. Aku Shalena, si jalang nomor satu di kelab ini. Jika ada yang ingin menyingkirkan aku, aku yang akan menyingkirkannya duluan. Menyeranglah sebelum kau diserang!

Seorang pria dengan pakaian kasual mendekat ke arahku. Pria tampan berperawakan tinggi dengan senyuman memukau yang mampu melelehkan setiap wanita yang menatapnya. Tapi ... Ah, tidak. Kurasa lelaki itu berbahaya. Dia bukan tipe pelanggan yang kusukai. Entah mengapa, tetapi instingku mengatakan dia adalah bahaya. Lelaki berbahaya.

"Nona Shalena?" tanya pria itu dengan senyum mematikannya.

Aku meliriknya dengan pandangan tak suka. "Ada apa, Tuan? Apa Anda bermaksud untuk bermalam dengan saya? Maaf, saya tidak tertarik." Ayolah, kalian pikir aku akan tertarik dengan lelaki menggoda sepertinya? Tidak. Aku tidak tertarik. Bukan karena dia kurang tampan atau kurang kaya, tetapi karena aku lebih menjaga hatiku. Katanya, cinta itu dari mata turun ke hati. Sedangkan menurutku, cinta itu dari mata, turun ke selangkangan, baru ke hati.

Ck. Jika hanya selewat saja, mungkin aku bisa melupakan laki-laki memikat mana pun. Tapi jika aku sudah pernah tidur seranjang dengan lelaki yang dari awal sudah membuatku terpukau, itu bahaya. Aku tidak menyukai perasaan terikat semacam rasa cinta. Tidak, aku tidak suka. Semua itu hanya akan membuatku lemah dan sengsara. Jadi, aku lebih memilih untuk menjaga hatiku.

"Aku memang ingin bermalam denganmu, Shalena. Tidur seranjang semalaman." Sekali lagi lelaki itu tersenyum. Sungguh, aku benci segala jenis pria tampan yang memukau sepertinya.

"Nah, Anda sudah mendengar penolakanku barusan, kan?" kataku dengan sarkastis.

"Aku bisa membayarmu dengan mahal. Dua kali lipat dari tarifmu semalam yang biasa?"

Aku menimang sebentar apa yang dia katakan hingga akhirnya aku setuju karena aku memang sedang membutuhkan uang banyak. Semoga saja, setelah ini tidak akan ada bencana semacam perasaan yang kutakutkan. Semoga.

"Tuan, kau tahu, tarifku adalah yang paling mahal di sini, bisa untuk membeli lima jalang sekaligus. Dan kau ingin membayarku dua kali lipat? Are you seriously?"

Tanpa diduga, lelaki itu mengangkat bahu dengan acuh, seolah tak ada masalah apa pun dengan itu. "Aku bisa membeli seluruh jalang di sini kalau aku mau," ujarnya seraya tersenyum miring.

Great! Tampan dan memukau dengan dompet tebal. Sungguh iblis mengerikan untukku.

Akhirnya aku mengangguk, dan bergelayut mesra pada lengan kokohnya. "Oke. Kita ke mana?" tanyaku, padahal dalam hati aku mengerang, lengannya benar-benar pas untuk dipeluk. Sialan.

"Hotel Aster?" tanyanya dengan senyuman manis lagi. Aku segera mengalihkan pandanganku darinya karena senyuman itu.

Berusaha bersikap biasa saja layaknya wanita penghibur, itu lebih baik. "Baik. Ayo! Aku akan memuaskanmu hingga kau tidak ingin pulang." Bibir merahku menyunggingkan senyuman nakal.

Lelaki itu merangkulkan lengannya di pinggangku yang ramping. Lantas kami berjalan meninggalkan hiruk pikuk kelab milik rekan Madam Liya.

Hotel mewah yang menjadi pilihan lelaki itu benar-benar luas dan megah. Sungguh, tak dapat diragukan lagi kalau lelaki itu benar-benar lelaki kaya raya. Dan aku sungguh harus menjauhinya setelah ini. Harus.

"Namaku Keyshon Javier. Kau bebas memanggilku apa pun yang kau mau," ucap lelaki itu. Padahal, aku sama sekali tidak ingin tahu. Aku hanya ingin segera melakukan tugasku dan pulang membawa uang yang kubutuhkan.

"Oke, Tuan Key. Mari segera tuntaskan semuanya. Aku sudah tidak sabar," ucapku seraya membuka kaus cokelatnya.

"Tidak sabar untuk tidur denganku, atau tidak sabar untuk mendapatkan uang dari hasil memuaskanku?" Lelaki itu menyeringai.

Sialan. Aku membencinya. Tanpa ingin mengoceh lebih jauh, aku mulai mencium bibirnya yang menggoda. Keyshon membalas ciumanku dengan panas menggelora. Oh, Tuhan. Sialan. Aku kewalahan mengimbangi permainannya. Padahal biasanya, aku selalu memimpin lawan mainku di ranjang.

Tanpa aba-aba, Keyshon menggendongku dan menjatuhkan tubuhku di atas ranjang. Ia tersenyum di atas tubuhku. Tapi bukannya mulai menyentuhku, dia malah mengecup keningku dan memposisikan diri di samping. Memejamkan mata dengan posisi kepala di ceruk leherku.

Shit! Apa mau lelaki ini!?

"Tuan, kita belum menyelesaikan permainan," ucapku seraya menahan sumpah serapah yang ingin segera kulontarkan.

"Permainan apa?" tanya pria itu. Dia tidur menyamping sambil menatap ke arahku, lalu detik berikutnya, dia juga membawa tubuhku untuk tidur menyamping menghadapnya. "Aku hanya ingin tidur semalaman denganmu, bukan melakukan permainan." Ia mengelus pipiku dengan lembut.

"Shit! Apa maksud Anda? Pekerjaan saya adalah memuaskan pelanggan dengan permainan!" umpatku seraya terduduk.

"Yang penting aku membayarmu. Dan satu lagi. Jika ada orang yang masuk, tolong abaikan. Sekarang buka pakaianmu!"

"Apa!?" Aku ternganga sempurna karena kalimat yang lelaki itu ucapkan.

"Aku tidak membeli wanita untuk menghangatkan ranjangku. Aku tidak suka. Aku membelimu hanya untuk tidur denganku sampai pacarku datang dan memergoki kita tidur seranjang. Kau paham maksudku, kan?" Ia menyugar rambut cokelatnya.

"Kau? Ah. Sialan. Kau menjadikan aku pemeran sandiwara!" umpatku kesal, tetapi lantas menuruti perintahnya membuka pakaian. Sudahlah. Setidaknya aku selamat karena tidak jadi merasakan kehangatan tubuhnya. Meski sungguh, aku tak habis pikir, lelaki tampan, gagah, dan sekaya dia tidak tertarik membeli wanita? Benar-benar spesies langka yang perlu dilestarikan. Ck, tapi sudah pasti lelaki itu pematah hati wanita. Pastinya.

"Lalu aku harus apa lagi sekarang?" tanyaku ketus.

"Kau hanya perlu tidur di sisiku, aku akan memberimu aba-aba jika pacarku datang."

Kuputar bola mataku dengan malas, lantas menuruti perintahnya untuk tidur di samping lelaki itu. Ck, demi mendapatkan uang aku harus melakukan hal seperti ini? Benar-benar sial nasibku.

***

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang