18. Hati yang Lapang

863 39 0
                                    

Suasana begitu hening, hanya suara jarum jam yang bertengger di dinding putih ruangan yang terdengar. Sedangkan seseorang dengan tubuh kurus keringnya, duduk di atas kursi roda di dekat jendela dengan pandangan nanar. Sesekali, wanita berambut sebahu itu menghela napas berat, seolah napasnya tersendat sesuatu.

Ia menoleh ke belakang saat mendengar suara pintu terbuka, dan mendapati seorang pria tinggi masuk dengan sekantung buah-buahan di tangan kanannya.

"Ibu sudah makan?" tanya pemuda itu.

Wanita yang dipanggil Ibu mengangguk singkat, lantas kembali memusatkan perhatiannya pada pemandangan di luar jendela. Padahal tidak ada yang istimewa di sana, selain dari pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang menutupi kekumuhan di bawah.

"Apa dia sudah pulang?" tanya wanita itu lirih.

Pemuda itu duduk di sofa yang tersedia dan menyimpan buah-buahan yang ia bawa di atas meja. "Dia akan pulang dalam waktu dekat, Ibu jangan khawatir."

"Aku takut, waktuku tidak cukup."

Menghela napas, pemuda itu berdiri dan menghampiri wanita paruh baya yang sudah sangat ringkih itu.

"Jangan memikirkan hal-hal yang buruk. Ibu harus tetap semangat."

"Dokter bilang..."

"Ibu masih memiliki banyak kesempatan. aku akan mendesak dokter untuk mendapatkan perawatan yang terbaik untuk Ibu."

"Tapi, tidak pernah ada yang tahu umur seseorang, Javier." Kini tangisan wanita itu pecah, seolah ia benar-benar putus asa.

Pemuda yang dipanggil Javier itu memutar kursi rodanya, kemudian berjongkok untuk menatap mata basah sang Ibu.

"Lalu, untuk apa Ibu sembahyang jika Ibu tidak mempercayai mukjizat Tuhan?"

Wanita itu tak menjawab, namun isakannya terdengar semakin keras.

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana berterimakasih padamu. Kamu menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Terimakasih saja rasanya tidak akan cukup."

Javier tersenyum tulus. "Tidak usah melakukan apa pun, begitu pun mengucapkan terimakasih. Ibu cukup merestui aku untuk meminang putri Ibu."

"Bagaimana bisa aku tidak merestuimu? Kau adalah pria yang paling mencintai Shalena. Dan aku akan merasa tenang jika kau yang menjaganya setelah aku tiada. Bagaimana pun, hidup Shalena hancur karenaku."

Javier mengelus bahu Melia, ibunda Shalena dengan senyuman teduhnya. "Jangan lagi menyalahkan diri sendiri. Kita hanya menjalani takdir. Biarkan Shalena dewasa dengan caranya, seperti Anda mengerti dengan sendirinya."

"Ya, dan sekarang aku benar-benar merindukannya. Aku menyesal menyia-nyiakannya, tetapi merasa malu untuk menemui Shalena."

"Bagaimana pun dirimu di masa lalu, aku yakin Shalena selalu menyayangimu. Ibu adalah orang yang melahirkannya."

***

"Jadi istilahnya, ibumu hilang, begitu?"

Shalena mengangguk lemah seebagai jawaban dari pertanyaan yang Gea lontarkan soal keehilangan ibunya. Dan entah bagaimana mulanya, air mata di mata wanita itu sudah menggenang di pelupuk, kemudian jatuh secara perlahan membasahi pipinya.

"Aku tidak tahu harus mencarinya ke mana. Empat tahun aku pergi ke Jenewa, tanpa tahu lagi bagaimana kabarnya."

Gea menepuk punngung Shalena beberapa kali, untuk menguatkan wanita itu.

"Aku akan meminta bantuan Kak Keyshon atau orang tuaku untuk mencarinya. Kau hanya perlu berdo'a semoga ia baik-baik saja."

Shalena hanya bisa mengangguk kecil dengan buliran air mata yang tak berhenti meluruh. Sungguh, penyesalan begitu menyakitkan. Jika saja ia bisa menemui ibunya sekali saja, ia ingin meminta maaf. Ia ingin memeluknya. Ia ingin berdamai dengan lukanya. Ia ingin merasakan bagaimana hangatnya belaian seorang ibu sekali saja. Bahkan jika perlu, Shalena akan memohon agar dapat merasakan itu semua.

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang