21.2 Seseorang untuk Berbagi

742 31 4
                                    

"Shalena, apa kau baik-baik saja?"

Kuputar bola mataku malas. Entah harus berapa ratus kali aku katakan pada dunia bahwa aku baik-baik saja. Aku sudah merelakan kepergian Ibu.

"Ge, hentikan itu. Kau merusak moodku, sungguh!" decakku, seraya menatap Gea sebal di depan cermin.

"Aku khawatir padamu. Aku hanya..."

"Aku baik-baik saja," potongku segera. Aku tersenyum. Benar-benar tersenyum. "Kau bisa lihat, kan?" tanyaku.

Gea diam beberapa saat, mengamati wajahku dari pantulan cermin, kemudian menoleh untuk menatapku langsung, dan tersenyum lebar.

"Apa itu? Kau benar-benar baik-baik saja, tapi..."

"Tapi?"

"Matamu terlalu berbinar, Shalena! Katakan, apa yang terjadi padamu? Apa kau kencan dengan seseorang!?" pekik Gea histeris. Yah, begitulah Gea. Menyebalkan.

Aku menoyor keningnya seraya terkekeh ringan. "Dasar bodoh! Aku hanya tersenyum, lalu kau menudingku kencan!" jawabku berpura-pura sarkas.

Gea hendak bangkit, tetapi mataku menatap tajam pada gaun putih panjangnya yang menjuntai. Peringatan agar gadis hyperactiv itu diam.

"Shalena, sungguh! Aku mengenal dirimu. Kau tidak pernah tersenyum seperti itu. Senyummu barusan itu benar-benar..."

"Shut up, Ge!" Aku menatap tajam, bercanda. "Bersiaplah. Sebentar lagi pernikahanmu dimulai!"

Gea mencebikkan bibir dan menatapku kesal. "Setelah ini, kau harus cerita! Awas saja kalau kau tidak cerita."

***

Upacara pernikahan Gea dan Farhan telah dimulai. Kedua mempelai tersenyum lebar di depan altar dengan binar bahagia yang kentara di mata mereka. Aku sendiri berdiri di salah satu sudut aula dengan segelas jus jeruk di tangan, dan mata berjelajah mencari satu sosok yang tidak kutemui sejak tadi.

"Shalena?"

Menoleh, aku sempat terperanjat begitu menatap seorang pria yang dulu begitu dekat denganku. Aku tersenyum lebar, menatapnya dan seorang gadis yang kukenal di sisinya.

"Bar, kau apa kabar?" tanyaku. Ini lucu. Dulu aku begitu dekat dengannya, tetapi sekarang, ini terasa canggung.

"Aku baik," balasnya. "Kau menghilang selama empat tahun, Shalena. Kau pergi ke mana?"

Ada rasa tak enak saat aku harus menjawab pertanyaan Barry. Ini berkaitan dengan perasaanku, dengan lukaku, dengan masa lalu kelamku yang menyakiti banyak orang. Dan salah satu orang yang kusakiti, ada di hadapanku saat ini. Bagaimana bisa aku mengatakannya dengan ringan?

Tersenyum kecut, aku menjawab, "Terkadang kita harus pergi sejauh mungkin, Bar. Bukan untuk lari dari masalah, tetapi mencoba memberikan kesempatan kepada orang di sekeliling kita, yang pernah kita sakiti, untuk memilih satu pilihan tersisa selain kita." Kutatap Sesilia yang sejak tadi mengalihkan pandangan dariku. Aku maklumi, ia hanya seorang wanita yang takut kehilangan cinta dari kekasihnya. Itu hal wajar, aku mengerti sekarang. "Dan kurasa, pilihanku untuk pergi sangatlah tepat, Bar." Aku tersenyum, lagi.

"Seharusnya kau tidak usah pergi, Shalena. Semua bukan salahmu," ucap Barry dengan sendu, menatapku dan menatap Sesilia sesaat. "Evan hanya terobsesi dan dibutakan perasaan itu. Sekarang dia dan Angela sudah bahagia," ucap Barry, yang entah mengapa membuatku tersenyum sendu. Aku ingin menemui mereka, dan menyaksikan bagaimana kebahagiaan yang tercipta di antara dua insan itu.

"Juga, aku perlu menjelaskan ini," Barry menjeda ucapannya, "aku mungkin menyukaimu saat itu..." Sesilia terlihat hendak pergi, tapi Barry menahan lengannya, "tapi sungguh, aku hanya ingin mengatakannya saja. Aku tak berniat untuk menjadi sesuatu yang harus memiliki atau dimilikimu."

"Kalian berbincang saja berdua, aku akan mencari temanku."

"Sesil," panggil Barry, menatap Sesilia lunak. "Kau harus dengar semua pembicaraanku dengan Shalena."

"Bar..."

"Kau tahu, Shalena, aku adalah lelaki yang memegang prinsip. Jika aku menyukaimu sejak lama, artinya aku lebih dulu menyukaimu, kemudian menyukai Sesilia. Dan prinsipku, jika aku benar-benar menyukai yang pertama, tidak mungkin aku akan jatuh hati pada yang kedua."

Aku tersenyum, menatap Sesilia yang kini tertegun menatap Barry dengan tatapan terharunya. "Aku tahu, Bar. Maaf untuk kepergianku. Semoga kalian bahagia," ucapku tulus.

Barry tersenyum, meremas jemari Sesilia yang menunduk. "Jangan lagi cemburu pada Shalena," bisik Barry yang kemudian mengecup pucuk kepala Sesilia. Aku benar-benar bahagia melihat ini. Kehancuran yang kutinggalkan, mampu mereka perbaiki. Evan, Angela, Barry dan Sesilia. Setidaknya, ada hal positif yang kutinggalkan saat aku pergi selain dari penyesalan tentang Ibu.

"Maafkan aku, Shalena. Tidak seharusnya aku membencimu," gumam Sesilia, tak mau menatapku.

"Tidak apa, Sesilia. Aku tahu apa yang kau rasakan saat itu," balasku. "Aku juga minta maaf untuk pertemuan terakhir kita yang tak mengenakkan."

Kutatap punggung Barry dan Sesil yang saling berangkulan mesra setelah pamit padaku --seraya meminum jus di tanganku. Benar-benar lega saat semua terselesaikan dengan baik. Kuharap, kisahku juga akan berujung tenang dan bahagia.

"Kau di sini?"

"Keyshon," gumamku, tersenyum kikuk pada Keyshon yang datang menghampiriku.

Ya Tuhan, ini bukan pertama kalinya aku melihat Keyshon memakai tuxedo, tetapi tetap saja aku mengaguminya dalam stelan itu.

"Aku mencarimu sejak tadi." Keyshon mengambil gelas kosong di tanganku, memberikannya pada pelayan kemudian mengambil gelas baru yang berisi anggur.

Sekarang kami berakhir di sisi Gea dan Farhan --yang terlihat begitu bahagia, untuk berfoto. Setelah foto bersama keluarga Gea, kini Gea memintaku untuk berfoto berempat, dengan Keyshon tentunya. Ini pasti akal bulus Gea.

"Shalena, kau sangat cantik. Kak Keyshon sampai terus memperhatikanmu," bisik Gea menggoda di sisiku. Itu sangat menyebalkan.

"Diamlah. Jangan menggodaku, Ge!" desisku.

"Apa laki-laki yang kencan denganmu adalah Kak Keyshon, hum?"

Aku mendelik tajam ke arah sahabat yang entah harus diapakan mulutnya agar berhenti mengoceh hal-hal seperti itu di hari pernikahannya.

"Pak! Tolong foto mereka berdua juga!" ucap Gea tiba-tiba pada fotografer. See, Gea memang sahabat termenyebalkan yang ada di dunia.

"Tidak, Pak. Ini..."

"Ayo, turuti saja permintaan pengantin wanita untuk hari ini."

Astaga. Jantungku hampir saja loncat saat Keyshon menggandeng tanganku. Dan aku bisa melihat senyum kemenangan dan tatapan menggoda dari Gea.

"Baik. Mbak, tolong merapat sedikit, ya!" titah sang fotografer yang membuatku kikuk. Aku bergeser ke sisi Keyshon semakin dekat dan tersenyum kaku.

"Satu... dua... Ya! Selesai."

Akhirnya....

"Jadi, Kak, kenapa kau tidak melamar Shalena seperti di novel-novel wattpad? Biasanya mereka melamar di hari pernikahan sahabat atau adik mereka. Itu sangat gentle dan keren!"

Aku. Shock. Bukan. Main. Gea memang ajaib!

"Aku gentle dan keren dengan caraku."

Jawaban yang bagus. Setidaknya tidak akan ada lamaran di depan keramaian. Aku bisa bernapas lega. Aku belum siap, sungguh. Hubungan kami saja masih begini, tidak ada kemajuan.

***

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang