3.4 Kenapa Aku?

1K 36 0
                                    

Malamku seperti biasanya, hanya dihabiskan untuk menemani pelanggan. Kali ini pelangganku adalah seorang laki-laki berumur pertengahan tiga puluh tahunan. Pria yang ya ... bisa dikatakan standar, wajah rupawan dengan dompet tebal.

"Kau tahu, Sayang, kau adalah primadona di sini."

Aku menyunggingkan bibir merahku mendengar ucapan pria itu. "Aku sudah tahu," jawabku, dengan satu tangan memeluk pinggangnya dan satu tangan lagi bermain-main di kerah kemeja putih lelaki tersebut. Menggodanya, membuat pria itu kegirangan bukan main.

Lelaki itu meraih wajahku dan melumat bibirku sejenak, hingga sedikit lipstikku tertinggal di bibirnya. "Kau mau menjadi istriku, hm?" Dia tersenyum menggoda. "Aku akan memberikan apa pun untukmu jika kau mau."

Sialan. Lagi-lagi ada saja laki-laki yang mengajakku menikah. Ya, bukan hanya Evan saja yang menginginkan aku menjadi istrinya, tetapi banyak. Evan mungkin bisa dikatakan yang ke tujuh belas. Tunggu, bukan. Mungkin yang ke sembilan belas? Entahlah. Dan perasaanku biasa saja ketika mereka mengatakan ingin menikahiku, berbeda ketika Evan yang mengatakannya. Ah, lagi-lagi aku mengingatnya. Sial. Pria itu telah mengacaukan seluruh isi pikiranku.

"Kalau aku ingin nyawamu, apa kau siap memberikannya untukku?" tanyaku, bermain-main tetapi juga serius di saat yang sama.

"Tentu. Aku akan memberikan apa pun untukmu!" jawab lelaki itu dengan begitu percaya diri.

O ya? Dasar mulut lelaki! Semuanya sama saja. Manis, dan pada akhirnya hanya memberikan empedu alih-alih madu. Belum sampai aku menjawab ucapan lelaki itu, sebuah tangan tiba-tiba menarik rambutku hingga aku hampir terjungkal. Astaga! Siapa manusia bar-bar yang melakukan itu!? Aku menoleh pada orang tersebut dan ... Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Aku meradang. Menatap wanita sialan yang barusan menamparku. Dia pikir dia siapa bisa seenaknya?

"Dasar pelacur, pelakor! Penggoda suami orang!" cerca wanita itu tepat di depan mataku.

Aku berdiri. Balik menampar dengan keras wanita itu sambil menatapnya nyalang.

"Nyonya, Anda mengigau atau apa? Siapa yang Anda bilang pelakor, hm?" tanyaku. Menaikkan dagu dengan angkuh beserta satu tangan berkacak pinggang.

"Mela, kemari kau!" Pria yang tadi aku layani berteriak berang. Pria itu maju dan meraih keras lengan wanita bar-bar yang menamparku barusan.

"Andy, lepas!" Wanita itu berteriak histeris ketika suaminya yang notabene adalah pelangganku malam ini menyeretnya menjauh.

"Dasar tidak tahu malu! Pergi dari sini!" Lelaki itu menghempaskan lengan wanita barbar yang kalau tak salah dengar namanya ... Mela? Iya, itu.

"Andy, apa-apaan ini? Kau mengusirku demi pelacur itu!?" Mela menatap nyalang terhadapku. Ya Tuhan, sungguh drama. Dia kemudian melangkah cepat ke arahku. Lengannya melayang di udara, hendak mendarat di pipiku tapi kali ini aku sigap mencekal lengannya. "Sialan! Lepaskan tanganku!" umpatnya.

"Dasar jalang! Kau ingin menamparku. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!" geramku, kemudian menghempaskan lengannya dengan kasar. Aku meninggalkan dua manusia drama itu. Dan aku baru menyadari jikalau tadi kami dikerubungi orang-orang.

"Shalena!" teriak seseorang. Laki-laki itu. "Tunggu, Sayang!" Kini lenganku ditahan. Aku muak berperan sebagai pemeran antagonis di dalam sebuah drama rumah tangga.

"Apa lagi!?" pekikku kesal.

Andy menggeram frustrasi. "Jangan tinggalkan aku. Kumohon, menikahlah denganku!" pintanya.

Astaga, apa-apaan ini?

Aku memutar bola mata dengan malas. Lantas menatapnya kembali dengan tajam. "Meskipun aku jalang, aku bukanlah perebut suami orang. Silakan perbaiki hubunganmu dengan istri barbarmu itu. Jika tidak juga terserah, yang penting jangan ganggu aku lagi!" gumamku.

Di belakang Andy, istrinya berlari tergopoh-gopoh dan meraih lengan Andy. "Aku mohon. Jangan pergi demi wanita murahan itu!" Air mata bercucuran di pipi wanita sialan yang nasibnya malang itu.

"Aku tidak mencintaimu lagi sejak kau selingkuh, Mela! Pergilah. Aku menginginkannya!"

"Tidak. Aku tidak mau. Kau milikku. Aku akan membunuh wanita sialan itu jika kau bersamanya!" kukuh Mela dengan tubuh bergetar. Tatapannya nyalang menatapku saat mengatakan kalimat terakhir.

Ya Tuhan, drama yang amat sangat memuakkan! Aku melengos, meninggalkan drama tidak etis di hadapanku.

"Shalena!"

Aku berbalik dengan kasar. Menatap tajam keduanya.

"Jangan ganggu aku lagi. Kau dengar itu, kan? Urusi saja istri sialanmu itu. Aku malas berurusan dengan hal semacam ini. Aku memang jalang, tetapi aku hanya bekerja untuk menghangatkan ranjang pelangganku, bukan untuk menjadi pelakor!" ucapku keras-keras, meski tanpa berteriak pun mereka akan mendengar karena kami sudah berada di luar kelab. "Dan kau, wanita barbar! Seharusnya kau berkaca diri. Kau tidak ingin suamimu berpaling? Perbaiki tampilanmu. Astaga, tampilanmu jauh lebih jalang dari pada aku," ucapku tajam, sambil melirik penampilan wanita itu yang tak jauh berbeda daripada aku, bedanya aku jauh lebih berkelas. Kemudian berbalik pergi. Meninggalkan mereka dengan cepat. Kepalaku akan pecah jika terus berada di sana. Aku sudah mendapat bayaran dari lelaki itu sebelumnya, jadi aku tak begitu rugi untuk kejadian malam ini.

"Shalena!"

Apa lagi ini? Baru saja aku bisa bernapas lega karena Andy tidak mengejarku, sekarang? Aku memejamkan mata dengan lirih saat melihat Eva berlari menghampiriku.

"Pulang bersamaku!"

"Aku sudah pesan taksi online, Van."

"Batalkan!" titah Evan tak terbantahkan. Ia lalu mencekal lenganku.

"Van, kau apa-apaan!?" Aku menatap Evan dengan kesal. "Kau mabuk, Van!" ucapku lagi ketika Evan memasukkan aku ke dalam mobilnya yang terletak tak jauh dari tempat ketika ia menyeretku.

Evan masuk dan melajukan mobilnya hingga sampai di depan gedung apartemenku yang memang terletak tak begitu jauh dari tempat kejadian barusan.

"Van!" Lagi-lagi aku memanggil nama Evan ketika ia menyeretku dengan tatapan datarnya. Ya Tuhan, ada apa sebenarnya dengan Evan?

Kami sampai di kamar apartemenku. Tiba-tiba saja otakku membeku begitu Evan memelukku, bahunya sedikit berguncang dan ... Evan menangis?

"Kau kenapa, Van?" Aku membalas pelukannya. Dia terlihat rapuh sehingga aku tak tega untuk menolak.

"Aku mohon, menikahlah denganku, Shalena," ucap Evan lirih.

Aku bergeming. Menikah? Kenapa aku? Aku tidak siap. Tidak, bukan aku tidak siap, tapi ... Entahlah.

"Van, kau sedang mabuk, sebaiknya kau istirahat."

"Aku tidak mabuk, Shalena. Menikahlah denganku. Aku tidak mau ada laki-laki yang memaksamu menikah seperti tadi selain aku."

Aku terpana. Evan tahu perihal Andy dan istrinya itu?

"Van, aku tidak bisa ..."

"Kau bisa, Shalena. Berhentilah dari pekerjaan itu dan jadilah istriku."

"Tapi--"

Belum sempat aku membalas ucapannya, Evan sudah terlebih dahulu membungkam mulutku dengan bibirnya. Aku tak bisa lagi berkutik. Hanya mengikuti Evan yang benar-benar membuatku hanyut dalam perasaan yang ... damai? Ya Tuhan, perasaan macam apa ini!?

"Van ..." Aku memanggil Evan pelan. Evan tak menggubris. Ia menarikku ke kamar lalu membaringkan aku di atas tempat tidur. Ia ikut naik dan memelukku.

"Tidurlah, Sayang. Apa pun yang terjadi, kau akan tetap jadi milikku."

Aku mengernyit dalam, tak mengerti dengan situasi ini. Lalu, jemari Evan menyentuh lembut kerutan di dahiku dan mengecupnya.

"Jangan terlalu banyak berpikir. Tidurlah, aku mencintaimu, Shalena. Teramat banyak."

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang