8.1 Bentuk Cinta

868 27 0
                                    

Siang ini, aku memasak makanan untuk makan siang Evan seperti biasa. Ya, sudah hampir dua bulan pernikahan kami berjalan. Sedikit demi sedikit aku mulai mengenal Evan secara lebih pribadi. Aku hafal mulai dari kebiasaannya saat bangun tidur, kebiasaan saat ia bicara, makan, bahkan waktu yang biasa ia habiskan untuk membersihkan diri.

Setelah mengemasi semua makanan yang kumasak ke dalam tupperware dan kemudian memasukannya ke dalam paper bag, aku berjalan keluar apartemen menuju ruangan Evan.

Sampai di depan kantor Evan, aku memasuki lift yang akan mengantarku menuju lantai paling atas, di mana ruangan Evan berada.

Ting!

Lift terbuka. Di depanku, seorang gadis imut dengan pakaian kantornya yang pas tengah berdiri dengan beberapa map yang ia dekap. Ia tersenyum padaku, yang kubalas dengan anggukan singkat. Setelahnya aku meninggalkan lift dan memasuki ruangan Evan setelah berbicara pada Livia, sekretarisnya.

"Sayang!" seru Evan begitu berbinar saat menatapku masuk. Padahal baru saja tadi wajahnya terlihat kusut. "Bawa makan siang lagi?" tanyanya.

Aku mengangguk. Meletakkan paper bag berisi makan siang itu di atas meja, sedangkan bokongku kudaratkan di atas pangkuan Evan.

"Supaya tidak makan di luar," kataku setelah mengecup singkat bibirnya dan tersenyum lebar.

Evan ikut tersenyum seraya memeluk pinggangku kemudian wajahnya ditumpukan di dadaku. "Aku semakin mencintaimu," gumamnya manja.

Lenganku mengusap rambutnya seraya tertawa kecil. Dan kau tahu apa yang kurasakan? Ya, jantungku berdetak cepat dan keras, lebih cepat dari pada saat aku menaiki roaller coaster. Bahkan saking kerasnya, aku sampai bisa mendengar suara detakan itu. Aku mencintainya? Ya, jika bentuk cinta adalah rasa kebahagiaan membuncah seperti ini.

Evan mengangkat wajahnya dan kemudian mencium bibirku dengan lembut. Aku membalasnya dengan tak kalah lembut. Kami hanyut dalam gelombang asmara yang kini bercampur gairah. Aku bahkan tak sadar saat ini blouse-ku sudah terangkat sehingga memudahkan Evan untuk mengeksploitasi tubuh atasku. Aku mendesah bahkan mengerang kecil begitu Evan menyentuhku di bagian-bagian sensitif. Tangan dan lidahnya memang benar-benar lihai. Entah itu memang sudah bakat alamiahnya, atau mungkin karena Evan banyak berpengalaman dengan wanita. Ah, tapi aku tak peduli dengan itu. Asalkan Evan hanya milikku dan aku ....

"Kak, aku--eh?"

Aku dan Evan sama-sama menghentikan aktivitas kami kemudian menatap ke pintu masuk --di mana seorang gadis berdiri di sana dengan kikuk. Ah, dia gadis barusan yang kutemui di depan lift.

Ia sedikit membungkuk dan berkata, "Maaf!" ucapnya tanpa mau melihat kami. Dia malu mungkin. Setelahnya ia keluar dan menutup pintu dengan cepat.

"Argh, dasar pengganggu!" gerutu Evan kesal. Ya, kami sudah hampir jauh tadi, tentu saja Evan kesal karena hasratnya belum tersalurkan. Kasian.

"Ya sudah, mending kau makan dulu. Aku lupa, bagaimana kalau makan siangnya keburu dingin?" Aku mencoba tersenyum dan turun dari pangkuan Evan.

Evan memaksakan senyumnya meski kutahu dia kecewa. Tapi, ya ... Bagaimana lagi? Kalau kita teruskan, aku takut kejadian tadi terulang. Sudahlah, lagi pula makanan Evan mulai mendingin.

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang