5.2 Tentang Rasa

968 37 0
                                    

Di balkon kamar aku berdiri. Menatap jalanan yang ramai di bawah sana. Mentari menyengat panas beserta asap knalpot yang membuat udara di bawah sana pasti terasa semakin sesak.

Satu pesan WhatsApp masuk ke dalam ponselku. Dari Evan.

From: Evan
Jangan lupa makan siang, ya. Nanti sore aku pulang sebentar sebelum berangkat.

Aku tersenyum menatap pesan dari Evan. Dan jantungku berdesir lembut. Dengan segera, kubalas pesan darinya itu.

To: Evan
Ya. Aku tidak akan lupa. Perutku akan selalu mengingatkan dengan alarm alaminya-__-"

From: Evan
Ya sudah. Makan yang banyak, Sayang. Aku mencintaimu.

Lagi dan lagi, mulut Evan sangat manis. Aku menutup aplikasi WhatsApp itu dan menatap jam di layar beranda. Pukul 12.15 WIB. Oke, aku harus memasak apa untuk makan siang?

Baru saja aku masuk ke dalam kamar, ponsel kembali membunyikan notifikasi pesan WhatsApp. Dari Barry.

From: Barry :)
Kau sibuk? Makan siang bersama?

Aku tersenyum menatap room chat dari Barry. Aku belum pernah bertemu lagi dengannya setelah insiden kambuhku sebelum menikah dengan Evan. Hanya makan siang dengannya tidak akan berdosa, kan?

To: Barry :)
Kafe biasa? Meluncur sekarang, Pak Dokter! =DD

From: Barry :)
Oke. Aku juga :)

Kulempar ponselku ke atas ranjang. Kemudian membuka lemari dan memilih pakaian santai namun elegan yang akan kupakai untuk makan siang bersama Barry. Ayolah, aku berdandan bukan karena aku masih memupuk perasaan (yang entah bagaimana) untuknya. Aku hanya tidak mungkin saja, kan, pergi keluar dengan pakaian rumahan, seperti daster misalnya?

Setelah aku mendapatkan pakaian yang pas, yakni blouse biru langit selutut yang simpel tapi cantik, aku memakainya dengan segera. Oke, selesai itu aku mematut diri di depan cermin. Sekarang aku tidak bermake-up terlalu tebal, menyesuaikan saja dengan umurku yang belum genap dua puluh tahun. Lipstik yang kupakai sekarang pun berwarna merah bibir, bukan merah menyala seperti yang biasa aku gunakan untuk mencari pelanggan di kelab.

Kusisir rambut cokelat panjangku yang kucatok ikal di bagian bawahnya. Selesai. Tinggal memasukkan dompet dan ponsel ke dalam tas jinjingku yang berwarna senada dengan baju. Memesan taksi online dan dua puluh menit, aku sampai di kafe yang dimaksud.

Meja nomor tiga belas. Itu yang Barry informasikan sepuluh menit lalu lewat pesan WhatsApp. Aku menemukannya. Barry ternyata juga sudah di sana, tetapi dia tidak sendirian. Dia bersama ... seorang gadis.

"Shalena!" Barry berdiri dan melambaikan tangan padaku.

Aku mengerjap, kemudian berjalan dengan langkah lunglai. Kenapa masih ada yang sakit di sisi hatiku? Argh, apa-apaan ini? Aku sudah menikah, mana mungkin aku masih menyukai Barry. Ini salah.

"Kupikir kau kemari bersama Evan?" tanya Barry.

Aku tersenyum kikuk. "Oh, Evan sedang sibuk di kantor," jawabku sekenanya.

Barry ber-oh-ria, kemudian melirik gadis yang duduk di kursi yang bersebelahan dengannya. "O ya, Shalena, ini Sesilia, kekasih yang mau aku kenalkan padamu itu."

Geez. Jantungku nyeri sekarang. Ya Tuhan, enyahkan semua ini. Aku sudah memiliki Evan. Aku harus belajar mencintainya dan berhenti memikirkan laki-laki lain, apa lagi laki-laki itu sudah memiliki pasangan.

"Hai, Shalena. Aku Sesilia, Barry sering bercerita tentangmu!"

Gadis ini sepertinya gadis baik. Lihatlah cara dia memperkenalkan diri. Dia periang, tegas, tetapi sopan dan elegan.

"Ya, aku Shalena. Barry cerita apa saja?" tanyaku basa-basi.

"Banyak," jawabnya dengan senyuman yang ... Entahlah.

Aku tersenyum lebar, merasa tersanjung karena ternyata Barry bercerita banyak tentangku pada Sesil.

Kami berbincang banyak sampai pesanan datang dan kami mulai menyantap makanan masing-masing.

"Kau masih meminum obatmu, kan?" tanya Barry.

Aku mengangguk. "Aku terpaksa meminumnya, padahal ingin berhenti."

"Aku bilang jangan berhenti sebelum aku menyuruhmu berhenti meminum obat itu. Kau belum benar-benar pulih, Shalena."

"Ya, aku tahu."

"Kau harus melawan segala rasa sakitmu dan berhentilah melakukan kegiatan yang terlalu berat, Shalena."

"Ya, aku tahu. Hampir setiap hari kau mengingatkan itu padaku."

Usai makan, kami berbincang sesaat sampai akhirnya aku harus pulang terlebih dahulu karena Evan mengatakan akan pulang sebentar lagi.

"Semoga kita sempat bertemu di lain waktu, Sesil." Aku menatap Sesil dengan senyum tipis. Dan, ekspresi gadis itu berbeda dengan ketika pertama kali aku datang.

"Ya." Dia bahkan menjawab sesingkat itu dengan senyum tipis yang sedikit terpaksa.

Sebenarnya kenapa gadis itu? Entahlah.

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang