4.3 Menikah

1.1K 38 0
                                    

Aku beriringan dengan Evan menuju ke ruangan Gea. Ternyata Gea hanya sendiri, tidak ada keluarganya termasuk si makhluk menyebalkan bernama Keyshon yang menunggui. Oke, syukurlah.

"Shalena!" pekik Gea. "Ya Tuhan, aku kira kau sangat sibuk sehingga tidak bisa kemari. Kau tahu, tadi pagi aku kelaparan karena Kak Key telat membeli sarapan. Aku malas makan makanan di sini." Dan lihatlah, Gea-ku sungguh kembali.

"Sesibuk apa pun aku, aku tidak akan lupa untuk ke sini. Aku tidak bisa sepenuhnya mempercayakanmu pada kakakmu itu."

Gea tersenyum, lalu tatapannya tertuju pada Evan yang hanya berdiri dan menyaksikan interaksi antara aku dan dirinya sendiri.

"Ah, Kak Evan, ya? Bersama Shalena lagi?"

Evan mengangguk dan sedikit menyunggingkan senyumnya. "Ya, Shalena sudah menjadi istriku."

"APA!?" Seketika suara keras Gea membuat telingaku berdengung.

"Seharusnya kau sudah bisa pulang, Ge. Suaramu sudah pulih seperti itu!" ketusku kesal.

Gea mengabaikan ucapanku. "Kau harus jelaskan ini padaku, Shalena! Kenapa kau menikah tanpa memberitahuku? Ya Tuhan, kenapa? Kau seharusnya jadi Kakak iparku. Ya Tuhan, tolong!" Gea berbicara heboh dengan sekali tarikan napas.

Aku memutar bola mata dengan malas, lalu memukul kecil kepalanya. "Bernapas, Ge!" ucapku. Akhirnya Gea bernapas juga. "Pernikahan kami dadakan."

"Ya, meski begitu seharusnya kau sempatkan untuk mengabariku. Setidaknya aku akan datang dan mengacaukan--"

"Ge!" Aku menatap Gea penuh peringatan. "Aku tidak tahu aku akan menikah. Tiba-tiba saja sudah ada di KUA."

Aku mengikuti arah pandang Gea yang ternyata menatap Evan dengan horor. "Itu artinya ... Kau memaksanya!"

Aku mendengus kesal. "Ge! Kau bisa pulang hari ini juga sepertinya! Suara dan tingkahmu itu, astaga. Kau sudah sembuh sepertinya."

"Jawab aku, Kak Evan!" Gea malah kukuh untuk bertanya pada Evan. Ya, Gea Gea ...

"Iya. Aku memaksanya karena aku mencintainya." Evan menjawab tenang. Ugh, dia sama saja.

"Dan kau, Shalena! Apa kau mencintai Kak Evan?" Gea beralih menatapku.

Aku diam sejenak. Kemudian menjawab, "Ya. Aku mencintainya, itu sebabnya aku mau menikah dengannya."

Dari ekor mataku, aku bisa melihat Evan menatapku dengan tatapan tak percaya. Dia syok mungkin, karena aku mengakui aku mencintainya. Tapi apa itu benar? Entahlah. Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku. Di satu sisi, sikap lembut Evan selalu membuatku terhanyut ke dalam tatapan matanya. Tapi di sisi lain aku juga merasa bahwa ... Ah, tidak. Lagi-lagi Barry masuk ke dalam pikiranku.

"Ya sudah kalau kalian saling mencintai. Aku tidak bisa memaksa. Yang penting kau bahagia, Shalena." Gea mendesah kecewa, tetapi lantas senyumnya terukir di akhir kalimat yang ia ucapkan.

"Terimakasih," jawabku seraya menepuk pelan pundaknya.

"Dek, kata dokter kau harus--"

Aku menatap pria yang barusan masuk sambil berceloteh, kemudian terdiam setelah ia mengangkat wajah dan tatapan kami bertemu.

"Ya Tuhan, dirimu lagi!" Ia mendesah lelah. Apa-apaan maksudnya itu? Dasar.

"Kau mengenalnya, Sayang?" tanya Evan padaku.

Aku menatap Evan sekilas. "Ya. Dia alien dari planet mars," jawabku asal.

"Astaga! Apa yang kauucapkan!?" Keyshon menghampiriku. Aku menatapnya dengan angkuh. Ya orang angkuh sepertinya harus dibalas dengan keangkuhan kembali. "Dasar wanita pedagang. Dia pelangganmu, hm?" Key mengedikkan dagu ke arah Evan.

Aku menggeram kesal. "Bukan urusanmu, Jerk!" jawabku. Sial sekali aku harus terus bertemu dengannya jika berkunjung pada Gea. Kenapa juga Gea harus memiliki Kakak seperti dia? Menyebalkan.

"Tentu urusanku. Kau menjenguk adikku dan aku tidak akan membiarkan kau berdagang di sini. Paham?" Keyshon menatapku dingin.

Aku hendak maju untuk melampiaskan amarahku. Ya setidaknya mendaratkan tamparan atau cakaran di wajah tampannya tidak terlalu buruk. Tapi, tangan Evan lebih dulu meraih pinggangku sebelum aku berhasil melakukan keinginanku.

"Shalena istriku," kata Evan yang membuat Keyshon mengerutkan kening. "O ya, kau produser di rumah produksi Wilson Film's, kan?"

Setelah agak lama, kerutan di dahi Keyshon sedikit memudar, tetapi ia masih saja menatapku dan Evan dengan tajam.

"Ya, aku produser di sana."

Lalu Evan mengulurkan tangannya pada Keyshon. "Kalau begitu, senang bisa bertemu denganmu secara langsung Pak Wilson. Saya Evan, dari perusahaan Triwijaya. Pernah menjadi sponsor untuk salah satu film Anda, tetapi saya tidak turun langsung waktu itu."

Oh, rekan bisnis. Ini pasti membosankan. Pembicaraan soal bisnis dan perusahaan.

"O ya. Saya baru tahu. Pewaris tunggal perusahaan Triwijaya?" Keyshon menjawab tanpa lebih dahulu menerima uluran tangan Evan. Luar biasa sombong dan angkuh! "Senang bertemu denganmu."

Evan tersenyum kecil dan menarik kembali lengannya yang terulur karena tak mendapat tanggapan. Kasihan sekali. Ini gara-gara si Tuan sombong itu.

"Terimakasih," jawab Evan. Ia masih mempertahankan senyum tipisnya. Berbeda dengan Keyshon yang tidak menampilkan senyum sedikit pun.

"O, ya. Saya harus mengurus kepulangan Adik saya sekarang. Apa kalian masih ada urusan? Jika tidak, kalian boleh pergi."

Astaga. Dia mengusir kami? Berani-beraninya--

"Kak!" Gea menatap Keyshon penuh peringatan.

"Kami tidak memiliki urusan lagi, Pak. Kami permisi." Ah, sialan. Kenapa Evan malah menarikku? Padahal aku ingin mencakar wajah laki-laki kurang ajar itu. Tapi, ya sudahlah. Lain kali kalau ada kesempatan, aku akan mencakar, menjambak, atau mungkin membunuh orang itu. Sialan. Dia menyebalkan!

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang