23.1 Aku Mencintaimu

1.4K 43 4
                                    

Sejujurnya, jatuh cinta itu sederhana. Kuncinya kau harus bisa rela, merelakan yang telah pergi darimu, dan berdamai dengan masa lalu. Dengan begitu, seseorang yang baru akan mudah kau terima.

Aku tidak tahu, sejak kapan hatiku jatuh pada produser kaya raya yang kini duduk di sisi kananku. Dari apa yang kutahu dulu, ia adalah manusia paling menyebalkan yang pernah aku temui. Terjebak berdua dengannya amat memuakkan. Ayolah! Semua orang akan berpikir demikian jika mengetahui bagaimana kelakuan lelaki itu dulu. Tapi kini, semua berubah. Aku justru meminta kepada Tuhan kali ini, untuk menjebakku dalam takdir hidup berdua dengannya, selamanya. Bukankah itu lucu? Waktu membuat segala yang tidak mungkin menjadi semungkin itu. Waktu membuat perubahan yang amat besar pada banyak hal dalam hidup.

Tidak tahu apakah hatinya masih untukku atau tidak, tapi aku harap, aku bisa bersamanya selalu. Aku tidak munafik untuk mengakui bahwa aku ingin dia menjadi milikku. Pada dasarnya, cinta adalah sebuah nafsu yang memungkinkan kita untuk ingin memiliki. Bullshit jika kau mengatakan cinta tak harus memiliki. Bullshit, jikau kau bisa selapang itu. Ya, kan?

"Ingin semangka?" Keyshon menyodorkan sepotong semangka di tangannya padaku.

Tersenyum samar, aku menerimanya dengan senang hati, tentu saja.

"Bukankah cuaca cukup cerah?" tanyanya, seraya menatap hamparan laut di depan sambil memakan buah berwarna merah tersebut di tangannya.

"Kurasa bukan hanya cerah, tapi juga panas," balasku jenaka, tapi juga serius di saat yang sama. Ayolah! Di sini memang benar-benar panas. Aku bahkan memiliki feeling jikalau kulitku akan berubah dua tone lebih gelap setelah ini.

Keyshon terkekeh, lantas menoleh ke arahku. "Mau berenang?" Dia tanya.

Aku menggeleng. "Jika kau ingin berenang, pergilah. Kurasa aku di sini saja."

"Kau yakin? Jika aku digoda wanita-wanita di sana, bagaimana?" tanyanya, menautkan alis menyebalkan.

"Ck, percaya diri sekali!" decakku, meninju lengan atasnya dengan sebal.

"Aku serius." Keyshon terkekeh kecil, membuatku mau tak mau juga tersenyum.

"Jika mereka menggodamu, kau bisa pilih salah satu di antara mereka."

Aku bohong. Tentu saja. Diam-diam, sepasang netraku melirik pada mulut pantai dengan tatapan setajam elang. Apalagi saat melihat beberapa gadis tengah berenang dengan bikini seksi yang menonjolkan seluruh lekuk tubuh mereka dengan sempurna.

Astaga! Mana mungkin aku bisa membiarkan Keyshon yang setampan dan segagah ini berada di tengah-tengah mereka? Bukankah itu sama saja seperti menyodorkan seekor ikan pada gerombolan kucing liar di jalan? Shit!

"Hm." Keyshon menatap jajaran wanita yang tengah berdiri di bibir pantai--dengan alis bertaut. Tak lama ia menoleh padaku. "Jika aku inginnya dirimu, bagaimana?" ucapnya kemudian.

Aku tersedak. Astaga. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu dengan datar. Sementara aku, mungkin saja saat ini terlihat seperti orang bodoh hanya karena kalimat singkat tersebut. Lihat, wajahku pasti sudah memerah karena kata-katanya sekarang. Astaga, memalukan sekali!

"Menyebalkan!" decakku, mengalihkan tatapan darinya. Dia memang benar-benar perayu ulung. Entah berapa ribu wanita yang pernah terjebak ke dalam rayuannya tersebut.

Namun Keyshon tampaknya tidak menanggapi ketidaknyamananku sama sekali. "Hei, bagaimana?" dia bertanya mendesak. Malah sepertinya, reaksiku membuatnya amat terhibur.

"Apanya?" tanyaku. "Kau ambigu!"

Keyshon terkekeh, kemudian menolehkan wajahku padanya dengan jari telunjuknya yang panjang dan kokoh. Pada saat tatapan kami pada akhirnya bertemu, detik itu juga jantungku rasanya berhenti berdetak. Sialan sekali. Sejak kapan aku memiliki penyakit seperti ini?

"Kau mau, kan, jadi kekasihku?" Keyshon menyuarakan tanya yang begitu dalam seraya menatapku lurus. "Lihat, bukankah aku cukup tampan? Tida tidak. Maksudku aku sangat tampan. Kau tidak mungkin menolakku, kan?" Ia memiringkan kepala, seraya memasang wajah sok tampan.

Mungkin dia hanya bercanda saat itu. Tapi debaranku serius.

"Dasar narsis!" Aku berdecak. Berusaha mengalihkan diri agar Keyshon tidak menyadari bahwa aku sudah malu setengah mati!

Dan Keyshon tertawa. Tawa yang membuatku kesal sekaligus tawa yang amat indah, yang begitu merdu untuk didengar. Jangan sampai, wanita lain mendengar tawanya. Mereka akan jatuh cinta.

Keyshon membaringkan tubuh di atas alas seraya memejamkan mata dengan begitu tenang. Niatnya untuk berenang sepertinya urung. Aku sendiri duduk di sisinya, seraya sesekali mencuri pandang.

Hingga tak terasa, waktu berlalu. Mentari perlahan tenggelam, menyisakan rona jingga di sudut cakrawala. Kutatap keagungan Tuhan itu dengan senyum merekah. Kebahagiaan ini membuatku serakah.

"Haruskah kita pulang? Atau kau masih betah?" tanya Keyshon tiba-tiba.

Aku menoleh padanya. "Terserah kau saja," jawabku.

Keyshon bangun dari posisi telentangnya. Duduk di sisiku seraya sama-sama menatap ke depan, di mana senja perlahan turun.

"Shalena," panggil Keyshon tiba-tiba. "Apa kabar hatimu sekarang?"

"Eh?" Aku menoleh, bersamaan dengan Keyshon. Hingga mau tak mau aku meringis malu saat mata kita bertemu. "Maksudmu ..."

"Maksudku, apa kau sudah siap membuka lembaran baru lagi? Melupakan luka-luka lamamu?"

Aku terdiam sebentar. Apakah aku siap? Pertanyaan yang sederhana, tetapi begitu sulit untuk dijawab.

Kupikir, aku sudah berdamai dengan luka. Tapi apakah aku siap membuka lembaran baru? Apakah aku bisa untuk kembali berjalan di halaman selanjutnya?

"Jika seseorang datang dan memintamu untuk tinggal di sisinya, menjadi teman hidupnya, apa kau akan menerima?"

Lagi-lagi aku masih terdiam, kelu.

Hingga, Keyshon memegang kedua bahuku dan menatap ke kedalaman mataku dengan tatapannya yang begitu tulus.

"Shalena, kurasa aku sudah menunggumu cukup lama. Aku tahu selama ini aku pengecut, mencintai dalam diam. Tapi sekarang, izinkan aku untuk menebus kesalahan itu. Aku ingin mencintaimu dengan nyata, melindungimu, dan menjagamu."

"Keyshon ...."

"Dengarkan ini, Shalena." Keyshon meraih tanganku, dan diletakkannya di dada kirinya, di mana jantung lelaki itu berdetak cepat. "Di sini, getaran itu ada. Getaran yang kau ciptakan. Apa kau merasakannya?" tanya Keyshon, membuatku semakin gugup. "Aku bersumpah bahwa aku tidak pernah tidak mencintaimu."

Jantungku berpacu cepat, sama cepatnya dengan detak jantung Keyshon. Perlahan, aku mengangguk. Menatap Keyshon dengan kedua mata yang hampir berair. Entah alasan apa, namun aku ingin menangis sekarang.

"Kau percaya bahwa aku mencintaimu, kan?" tanyanya lagi.

Aku menurunkan lenganku dari dada Keyshon, dan beralih menyentuh sisi wajahnya.

"Bagaimana bisa aku tidak percaya, sedang banyak sekali pengorbanan yang kaulakukan untukku?"

"Jadi, apa kau..."

"Ya, aku juga mencintaimu, kurasa."

Senyuman kecil terukir dari bibir Keyshon, menjadikannya semakin tampan. Ia menyentuh tanganku yang masih berada di sisi wajahnya. Diarahkannya tangan itu menuju bibir, dan mengecupnya dengan lembut.

"Terima kasih. Aku lega telah mengatakannya. Aku lega, akhirnya kau membalas perasaanku."

Tanpa waktu lama, Keyshon meraih tubuhku dan memeluknya dengan erat. Menyalurkan kehangatan tubuhnya yang menenangkan.

"Aku mencintaimu," bisik Keyshon.

"Aku juga, mencintaimu."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang