22.2 Mr.J

702 23 1
                                    

Semua pakaian yang kubawa dari Jenewa sudah kukemas pagi ini, termasuk beberapa baju Ibu. Kupikir, membawa baju Ibu, hal itu baik-baik saja. Aku hanya ingin mendekapnya di kala aku merindukan sosok empunya. Menghirup bau tubuhnya, yang terakhir kali memelukku dengan penuh kasih sayang, layaknya seorang Ibu lainnya.

Ting tong!

Bel berbunyi, di saat aku baru saja membaringkan tubuh di atas sofa. Dengan sedikit lunglai, aku bangkit. Layar intercom memperlihatkan seorang pria bertopi dengan seragam kurir. Kupikir, aku tidak berbelanja melalui olshop atau apapun, pikirku.

"Dengan Nona Shalena Kelsen?" tanya kurir tersebut ketika kubuka pintu apartemen. Aku mengangguk, sedikit tak yakin. "Ada paket untuk Anda," lanjutnya, seraya menyodorkan sebuah kotak berwarna merah.

"Dari siapa?" tanyaku, usai menerima paket tersebut, namun tak ada nama Sang Pengirim yang tertera.

"Saya tidak tahu, Nona. Beliau tidak memperbolehkan kami memberi tahu namanya," balas kurir tersebut. "Tapi kalau tidak salah, dia seorang laki-laki."

Aku mengangguk saja. Enggan berpikir terlalu jauh. Aku sudah cukup lelah seharian ini mengemas pakaian dan bebersih apartemen. Belum lagi besok pagi aku harus kembali berangkat ke Jenewa. Aku benar-benar akan menghabiskan hari terakhir di Indonesia dengan jalan-jalan melepas penat, dan beristirahat total pada malam harinya.

Usai menandatangani tanda terima, aku masuk ke dalam apartemen. Kembali merebahkan diri di atas sofa tanpa berniat membuka paket tadi.

***

Entah berapa lama aku tertidur di atas sofa. Yang pasti, dering ponsel yang membangunkanku.

"Ya, hallo?"

"Aku tebak. Kau pasti baru bangun tidur?"

Ah, suara ini. Astaga, ada rasa sesak juga rasa senang yang membuncah dalam hatiku mendengarnya.

"Apa kau peramal?" kujawab, setelah menguap sebentar dan terduduk lesehan di atas sofa. Melirik jam dinding sebentar, dan aku menggeleng kecil. Sudah tengah hari ternyata. Niatku untuk jalan-jalan seharian gagal total.

"Tidak. Tapi aku ada di depan apartemenmu sejak sepuluh menit lalu. Kukira kau pergi keluar, tetapi mendengar suaramu, sepertinya kau baru bangun tidur."

Aku meringis. Sekentara itukah sampai dia bisa menebak dengan tepat?

"Jangan bingung. Cepat bukakan pintu, Nona Shalena Kelsen."

Aku mengerjap. Buru-buru aku bangkit dari dudukku. Mencuci muka dan berkaca sebentar, memastikan bahwa penampilanku tak terlalu jelek untuk dilihat. Setelahnya, baru aku melesat untuk membukakan pintu.

Aku meringis bodoh, menyaksikan Keyshon dengan tampilan kasualnya berdiri dengan bahu bersandar ke dinding dan kedua tangan dilipat di depan dada. Demi apapun, kenapa dia bisa selalu tampan dalam keadaan apapun?

"Akhirnya..." Ia menegakkan tubuh dan mendekat ke hadapanku. "Bolehkah aku masuk?" tanyanya.

"Tentu," kujawab seraya memiringkan tubuh, memberi ruang untuk Keyshon masuk ke dalam.

"Apakah tadinya kau berencana untuk tidur seharian?" tanya lelaki itu, yang kemudian duduk dengan manis di atas sofa.

Aku mendesah kecil seraya menuang air ke dalam gelas. "Tidak. Tadinya aku ingin jalan-jalan seharian. Tapi ketiduran," jawabku agak lesu.

"Ini masih jam satu siang," Keyshon berbicara santai, sambil menatapku dengan mata kelamnya yang membius. "Bagaimana jika aku menemanimu berkeliling Jakarta? Kau mau ke mana? Ke mall, taman kota, pantai, atau ke mana?"

Aku duduk di sisi Keyshon, menyimpan segelas air putih di hadapannya kemudian menjawab, "Kau tidak sibuk?" Aku menatapnya, dan jadi gelagapan saat dia juga balas menatapku.

"Jika aku sibuk, tidak mungkin aku akan menemuimu sekarang."

Aku tersenyum, dengan kedua pipi yang memanas. Keyshon bicara biasa saja, sungguh. Tapi entah mengapa terasa manis di telingaku.

"Tapi aku bingung harus pergi ke mana," desahku lemas.

"Bagaimana kalau menonton film?" tanyanya.

Aku berpikir sebentar. Teringat kembali olehku tragedi saat di Jenewa. Menonton drama yang berakhir pada ciuman kami yang intim. Astaga, aku tidak mau itu terulang lagi. Sungguh, sangat memalukan.

"Aku tidak punya stok film," kilahku, berbohong.

"Kalau piknik ke pantai? Kau mau?" tanya Keyshon lagi.

Aku berpikir untuk ke sekian kali. Kali ini, aku setuju. Lagi pula, sudah lama aku tidak menginjakkan kaki di atas pesisir pantai yang lembut.

"Baiklah. Aku akan menyiapkan beberapa makanan untuk piknik dadakan kita ini."

Aku melompat dari sofa, berjalan riang ke dapur dan memastikan makanan apa saja yang akan kubawa nanti.

"Pastikan semua makanannya enak, ya!" Keyshon tersenyum di sofa sana.

***

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang