5.1 Tentang Rasa

1K 36 0
                                    

Hidupku benar-benar berubah setelah menikah dengan Evan. Tidak ada keluar malam, tidak ada melayani pelanggan, tidak ada kehidupan gelapku yang lainnya. Evan sudah membayar diriku sepenuhnya kepada Madam Liya sehingga aku tak lagi berkewajiban untuk bekerja di tempatnya.

Ya, hari ini hari ke lima pernikahanku. Aku masih merasa ini semua hanyalah mimpi. Tapi, setiap pagi aku terbangun dengan Evan di sisiku, aku terbangun di kamar Evan, bukan lagi kamarku, yang itu artinya aku memang sudah menikah dengannya. Tidak ada lagi lelaki lain yang kulayani di atas ranjang selain Evan. Dan yang kentara, Evan selalu memperlakukan aku dengan lembut. Lebih lembut dari biasanya. Ketahuilah, aku sedang senyum-senyum ketika menuliskan ini. Aku gila? Tidak. Aku masih waras. Masih bisa berhitung satu sampai seratus. Apa aku jatuh cinta? Entahlah, aku tidak tahu. Terlalu cepat jika aku menyimpulkan bahwa rasaku terhadap Evan adalah cinta. Lalu bagaimana dengan Barry? Barry sampai saat ini masih senantiasa mengusik pikiranku. Tapi aku juga tidak tahu apa yang aku rasakan untuknya. Yang pasti, aku pernah hampir menangis begitu Barry mengatakan akan mengenalkanku dengan pacarnya dua hari lalu.

"Selamat pagi, Sayang."

Suara khas bangun tidur itu membuatku mendongak. Yap, saat ini aku masih bergelung di atas ranjang sambil memeluk tubuh kekar suamiku, Evan Triwijaya. Evan tersenyum lembut dan mengecup puncak kepalaku, sungguh sesuatu yang dulu tak pernah aku bayangkan. Menikah? Aku sangat takut menikah. Aku sangat takut berdekatan dengan orang lain, maksudku dekat dalam tanda khusus.

Aku tersenyum kecil. "Pagi kembali, Van. Mau sarapan apa?" tanyaku. Meski di awal aku agak enggan dengan pernikahan ini, tetapi hari-hari berikutnya aku belajar menerima. Aku sering gemetar dan ketakutan? Sering, tetapi sebisa mungkin aku redam. Aku tidak boleh terus menerus berpikiran buruk tentang Evan. Barry selalu meyakinkan aku setiap hari, bahwa aku harus percaya Evan mencintaiku dan tidak akan pernah menyakitiku. Evan tidak akan menimbulkan bahaya apa pun. Sehingga perlahan, aku tidak lagi merasa takut. Aku mulai bisa membuka diri, meski belum sepenuhnya.

"Apa saja, asal itu masakanmu, pasti akan aku makan."

Aku mengangguk. Kemudian turun dari ranjang. Memunguti pakaianku dan memakainya, dan berlalu ke dalam toilet untuk membersihkan diri. Usai membersihkan diri dan memakai pakaian rumahan, aku keluar dari toilet dan melihat Evan masih duduk di ranjang sambil mengotak-atik ponselnya dengan kening berkerut.

"Ada masalah kerjaan, Van?" tanyaku sambil berjalan ke depan meja rias.

Evan mengangkat wajahnya dan mengangguk pelan. "Malam ini aku harus ke luar kota, Sayang. Ya Tuhan, padahal aku merindukanmu."

Aku memakaikan lipstik merah tipis-tipis di bibirku. Sungguh, aku tidak bisa lepas dari benda itu. Rasanya kurang percaya diri jika tidak ada lipstik yang terpoles di bibir.

"Kita bertemu setiap hari, Van. Rindu bagaimana?" Aku berdecak. Sedangkan Evan tertawa kecil. Kemudian berjalan ke arahku.

"Entahlah, aku kerja dari pagi sampai sore saja rasanya ingin segera pulang karena merindukanmu. Apa lagi ini, aku harus ke luar kota? Hm, bisa-bisa aku mati karena rindu." Evan memeluk tubuhku dari belakang. Kepalanya bertumpu pada pundakku dan matanya menatap mataku di depan cermin.

"Aku bisa diabetes gara-gara diberi sarapan gombalan manis, Van!" Aku terkekeh kecil. Evan juga.

"Yang penting aku mencintamu." Evan mengecup pipi kananku dengan gemas.

"Ya ya. Kau mencintaiku." Aku memutar bola mata dengan malas. "Sekarang jauhkan tanganmu. Aku harus memasak sarapan. Kau tidak mau telat datang ke kantor, kan?"

Evan nyengir polos. "Satu menit lagi, Sayang. Aku masih rindu."

Ya Tuhan, apa-apaan Evan ini? Semalaman kita tidur berpelukan dan sekarang ingin memelukku atas alibi rindu? Dasar!

"Sudah?" tanyaku setelah beberapa saat.

Evan mengangguk beberapa kali. "Sudah," jawabnya.

"Kalau begitu cepat lepaskan. Astaga! Sejak kapan kau jadi idiot, Van?" Aku mendesis tajam dan Evan cengengesan kemudian melepaskan tangannya dari tubuhku.

"Oke, silakan, Sayang."

Aku memutar bola mata dengan malas, lantas berlalu ke dapur untuk membuat sarapan. Tapi diam-diam aku tersenyum kecil.

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang