22.1 Mr.J

692 28 0
                                    

Resepsi pernikahan Gea telah selesai beberapa waktu lalu. Malam ini, sepasang pengantin itu akan segera terbang ke Paris, melaksanakan apa yang mereka impi-impikan: berbulan madu.

"Pulanglah dengan membawa kabar bahagia," ucapku dengan senyuman lebar. Aku memeluk Gea penuh rasa haru. Sungguh tak menyangka pada akhirnya sahabat paling menyebalkan ini sudah resmi menjadi milik orang lain sekarang.

"Pasti, dan kuharap, aku juga akan mendengar kabar bahagia darimu nanti," bisik Gea menggoda.

"Ck, menyebalkan!" Aku melerai pelukan dan menatap Gea yang melirik Keyshon dan juga aku bergantian. Kerlingan nakalnya itu membuatku tak kuasa untuk tidak menyentil dahinya.

Gea menggandeng lengan Farhan setelah memeluk kedua orang tuanya. Fyi, aku sudah beberapa kali mengobrol dengan orang tua Gea yang juga orang tua Keyshon. Mereka memang sibuk bekerja sehingga jarang di rumah, tetapi mereka sangat baik meskipun tak banyak bicara.

Usai berpamitan, Gea melambaikan tangan bersama Farhan dan memasuki pesawat. Aku balas melambaikan tangan dengan senyuman kecilku hingga dua sejoli itu menghilang.

"Jadi Javier, kapan kau akan menyusul adikmu?"

Aku menoleh segera, saat suara ayah Keyshon terdengar. Kemudian kurasakan Keyshon menatapku. Ah, ini benar-benar membuat pipiku memanas. Tapi tunggu, kenapa aku percaya diri sekali? Bukankah selama ini Keyshon hanya memberiku kode tanpa kepastian? Baiklah, jangan terlalu berharap, Shalena.

Tapi tunggu! Javier? Orang tua Keyshon memanggilnya Javier? Oh Tuhan, aku baru ingat bahwa beberapa orang memang memanggilnya dengan nama itu. Javier? J? Apa mungkin orang yang sering mengirimiku bunga setiap pagi saat di Jenewa adalah Javier? Keyshon?

"Aku akan memikirkannya nanti, Pa."

"Yah, kuharap jangan terlalu lama. Umurmu sudah sangat matang."

"Ya. Lebih baik Papa dan Mama pulang saja, istirahat. Umur kalian juga mulai senja, berhentilah terlalu sibuk dan bepergian ke luar Negeri."

Keyshon memegang pundak papa dan mamanya, dan berjalan di belakang mereka meninggalkan bandara. Begitu juga aku.

"Selalu saja mengalihkan pembicaraan," gerutu Sang Papa yang membuatku mau tak mau juga ikut tersenyum.

***

"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Keyshon, saat kita berada di apartemenku.

"Mungkin kembali ke Jenewa?" kujawab tanpa berpikir.

"Kenapa harud kembali ke sana?"

Keyshon mencondongkan sedikit tubuhnya ke arahku, meraih secangkir teh hangat di meja. Tatapan tajam lelaki itu begitu menawan, kuakui itu.

"Karena yang tersisa dari hidupku tinggal di sana." Aku memutus kontak mata dengan Keyshon. Entah mengapa mengatakan kalimat tadi terasa tidak benar. Benarkah kehidupanku di Indonesia sudah tak ada? Aku ragu.

"Shalena."

Atmosfer mendadak terasa lebih panas. Kupikir, mungkin AC-ku rusak. Tapi tidak mungkin. Jika ada yang rusak saat ini, pasti bukan AC-nya, melainkan otakku. Astaga, entah apa yang kupikirkan, tetapi hatiku sedikit meragu untuk pergi. Sebagian hatiku juga berharap, agar Keyshon memaksaku untuk tinggal.

"Kapan kau akan kembali ke sana?"

Sedikit menggeram kecewa, aku menjawab, "Mungkin besok, atau lusa."

"Baiklah. Aku akan mengantarmu nanti," ucap Keyshon, yang justru membuat dadaku terasa panas.

Kemudian kami hening. Bibirku terdiam, tetapi hati terus mengoceh hal apapun. Tidak tahu dengan Keyshon. Lelaki itu hanya menatap lurus cangkir tehnya sambil memainkan mulut cangkir tersebut, memutarinya.

"Oh, ya. Aku boleh bertanya sesuatu?" ucapku, memecah keheningan yang tercipta. "Apa... kau pernah mengirimiku bunga?" lanjutku ragu.

Ada binar jenaka yang terpancar dari mata kelam lelaki tampan di hadapanku setelahnya. Ia bahkan terkekeh ringan seraya mengubah posisi duduk menjadi bersandar pada sofa dengan kaki kiri menumpang di kaki kanan.

"Apa kau mencurigaiku melakukan sesuatu?" tanyanya.

"Tidak. Maksudku... aku tidak menuduhmu melakukan sesuatu yang..."

"Yah, aku mengirimmu bunga ketika di Jenewa," potong Keyshon. "Jika yang ingin kau tahu siapa Mr.J itu, ya benar, ialah aku."

Mataku membulat, dengan mulut sedikit terbuka karena merasa tak percaya. Sungguh, bagaimana mungkin dia Mr.J?

"Kenapa kau lambat sekali menyadari bahwa itu aku?" tanyanya lagi dengan senyuman lebar.

"Kau... astaga. Aku tak habis pikir." Aku kehilangan kata-kata, sehingga hanya bisa menutup wajahku, dan sesekali mengintip Keyshon dari celah jemari.

"Kenapa kaget begitu? Bukankah aku sudah mengatakannya, bahwa aku menyukaimu sejak kau masih duduk di bangku SMA?"

Ya Tuhan, entah. Lagi-lagi aku menghindari kontak mata dengan Keyshon. Kupastikan wajahku memerah saat ini. Serius, wajahku panas. Apa karena, aku juga menyukainya?

"Aku tak habis pikir kau bisa melakukan itu," racauku, masih menutup wajah.

Terdengar suara gemerisik, sepertinya Keyshon duduk bergeser. "Apa yang tak bisa dilakukan oleh Keyshon?" balasnya, disisipi rasa percaya diri dan candaan, membuatku tersenyum diam-diam.

Dia... manis.

***

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang