11. Pagi Pertama Tanpa Evan

1K 36 0
                                    

Mentari datang lebih lambat dari biasanya. Atau mungkin aku saja yang merasa demikian? Gea sudah tidak ada di atas ranjang. Mengucek mataku sebentar, aku turun dari atas tempat tidur. Berjalan lunglai ke depan jendela yang menghadap langsung ke halaman samping rumah.

Pagi pertama tanpa Evan ...

"Shalena."

Aku berbalik, menatap Gea dengan seulas senyum saat gadis itu menghampiriku dengan semangkuk es batu di atas nampan yang ia bawa.

"Kau sudah bangun ternyata," gumamnya. "Aku bawakan es batu untuk mengompres matamu yang bengkak."

"Terimakasih, Ge. Aku merepotkanmu," balasku pelan.

Gea terkekeh kecil. "Hei, ke mana Shalena-ku yang galak dan pemarah? Kenapa kau cengeng begini? Bangkit, ayo!"

Aku menggeleng pelan, sedikit tersenyum dan mengikuti Gea duduk di sisi ranjang.

"Mau kompres sendiri atau aku bantu?" tanya Gea seraya meletakkan nampannya di atas nakas.

"Aku bisa sendiri, Ge."

"Oke, kalau begitu. Setelah selesai, kau ke bawah, ya. Kita sarapan," ucap Gea. Aku mengangguk sekilas. Dan Gea berlalu keluar kamar.

Kuambil salah satu es batu di dalam mangkuk dan mengompreskannya ke mataku yang membengkak. Pikiranku tak fokus, hanya tertuju pada satu titik bernama luka.

Cinta, aku jatuh cinta. Dan sejak dulu cinta hanya memberiku luka. Aku mencintai ibuku, selalu berharap ia akan memberikan cinta yang sama seperti yang aku berikan untuknya. Tapi yang terjadi apa? Justru kebalikannya. Kini Evan. Aku mencintai Evan, dan lagi-lagi yang kutuai dari cinta hanyalah luka. Hanyalah kesakitan tak berujung. Mungkin sejak awal, seharusnya aku tidak pernah lagi berharap pada cinta. Karena sejatinya, cinta dan luka itu satu paket komplit yang takkan terpisahkan. Jika tidak ingin terluka mungkin cukup jangan lagi mengenal cinta.

"Kau akan berangkat bekerja, Kak?"

"Tentu, kaupikir aku akan malas-malasan terus? Biaya kuliahmu tidak murah, biaya makanmu yang jumbo juga."

"Ihhs, dasar menyebalkan! Kalau itu saja Mama Papa juga bisa membiayainya. Kau baru sembuh, masa iya langsung bekerja lagi?"

"Semakin lama aku tidak berangkat ke kantor, semakin menumpuk pekerjaanku. Aku harus mengecek lokasi syuting juga."

"Ya Tuhan, kau harus ingat istirahat!"

Aku hanya diam, memandang kosong dua orang di hadapanku yang bercengkrama hangat di tengah kegiatan sarapan mereka. Aku iri pada Gea. Meski orangtuanya sempat tak peduli dan sibuk akan pekerjaan mereka masing-masing, tetapi Gea masih memiliki si alien. Setidaknya aku tahu, di balik sikapnya yang selalu menyebalkan padaku, dia sangat menyayangi Gea. Yah, berbeda dengan nasibku yang selalu sendiri. Kurasa, aku adalah manusia sebatangkara, padahal nyatanya aku memiliki seorang ibu. Andai aku memiliki saudara, mungkin aku tidak akan sesendiri sekarang. Setidaknya saat Ibu mengusirku, aku masih memiliki tempat bernaung, tidak luntang lantung sampai terjebak di rumah bordil seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.

Belum lagi saat tahu Evan menjadikanku istri simpanannya, mungkin aku tidak akan serapuh ini jika memiliki seseorang yang bisa kusebut Kakak. Seseorang yang akan memelukku saat aku menangis.

"Shalena!" tepukan keras di lengan kiri membuatku tersadar dari lamunan.

"Ah, ya, Ge?" tanyaku.

"Melamun, eh?" Gea bertanya. "Kau hanya mengocek makananmu dari tadi," lanjutnya.

Berdeham sejenak, aku menjawab, "Hanya tidak enak badan sedikit." Dengan sedikit terpaksa, kusunggingkan senyum kecilku.

"Kalau tidak niat makan, ya, jangan makan. Mubazir. Di luaran sana masih banyak orang yang kelaparan!" ketus Keyshon yang kutatap dengan jengkel. Ya Tuhan, tolong sabarkan aku menghadapi alien satu ini!

"Kak! Ishh, jangan bicara seperti itu. Shalena sahabatku tahu!" Gea mendelik kesal pada Keyshon. Menatapku dengan tatapan hangatnya, Gea tersenyum. "Jangan terlalu dipikirkan, ya. Kau pasti kuat, Shalena. Pasti!" yakin Gea.

Aku tersenyum simpul dan mengangguk kecil. "Yah, mudah-mudahan seperti yang kaubicarakan."

Selanjutnya kami melanjutkan sarapan dengan khidmat karena Keyshon dan Gea juga tak lagi berbicara.

"Suruh sahabatmu itu cuci piring! Daripada galau dan terus menangis cengeng," gumam Keyshon datar, sesaat setelah ia berdiri dan memakai jas kantornya.

Astaga, mulutnya benar-benar!
Dengan berang aku menjawab, "Tanpa kausuruh aku juga akan melakukannya!"

"Baguslah, kuharap sekalian kaubantu Bik Hana mencuci baju, menyiram bunga, mengepel dan menyapu halaman."

Jika saja aku tidak ingat ini adalah rumahnya, sudah pasti kucakar wajah yang sialnya tampan itu. Benar-benar alien menyebalkan! Membuat moodku yang buruk semakin buruk saja.

"Ishh, Kak! Berangkat sana! Berenti membuat Shalena kesal, nanti kalian saling jatuh cinta!"

"GEA!"

Sialan. Mengapa aku dan si alien bisa berbarengan menyebutkan nama si gadis menyebalkan ini?

Lihatlah, Gea nyengir semakin lebar sekarang. "Kalian memang berjodoh," gumamnya dengan tampang kucing minta disleding.

"Tidak mungkin!"

Aku menatap Keyshon dengan horror saat lagi-lagi kami mengucapkan kalimat yang sama berbarengan.

"Tuh, kan ..." Gea mencuil hidungku dengan sebal.

Seketika kesedihanku menguap, berganti dengan kekesalan yang menggunung.

"Bodoh!" ketusku, lalu meninggalkan mereka untuk menyimpan piring-piring kotor di westafel. Aku bisa gila jika terus meladeni sahabat yang terkadang membuatku ingin memakan bayi buaya itu!

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang