20.2 Langit Biru

644 32 0
                                    

Mentari merangkak naik pagi ini disertai desau angin yang melirih sejuk. Langit cerah dengan aktivitas kehidupan yang mulai berjalan di pusat kota Jakarta. Kubuka horden jendela ruang inap Ibu yang berwarna biru langit. Aku tersenyum, menyaksikan langit cerah yang tersenyum menyapa hariku. Berjalan mendekat pada raga Ibu yang masih terlelap damai dengan lengkungan senyum yang manis, aku duduk di tepi ranjangnya.

"Bu," gumamku, menyentuh punggung tangannya. Namun, tak ada pergerakkan apa pun baik dari tubuh mau pun kelopak matanya.

Untuk beberapa saat, aku terdiam, merasa ada yang aneh dengan suhu tubuh Ibu. Ini terasa sangat dingin, tak seperti biasanya. Perlahan, rasa takut itu merangkak naik dan menikam jantungku kuat-kuat.

Ini tidak mungkin seperti yang kutakutkan. Ini tidak mungkin!

Dengan gemetar, aku meraih tangan Ibu dan memeriksa nadinya. Namun, aku tak merasakan apa pun. Aku beralih pada dada Ibu, berharap bisa mendengar detak jantungnya yang merdu. Tapi lagi-lagi, tak ada. Di sana tak ada detak jantung tanda kehidupan lagi. Tubuhku mulai melemas dengan peluh bercucuran. Rasanya duniaku runtuh seketika itu pula. Hatiku hancur. Air mataku bahkan enggan untuk menetes. Ini terlalu sakit. Aku bahkan belum menebus kesalahanku padanya. Aku belum sempat membawanya pulang dan merasakan manisnya hubungan antara anak dan Ibu normal lainnya. Aku sama sekali belum puas untuk menatap senyuman hangatnya yang belakangan ini selalu menyapaku. Aku belum cukup puas karena belum membahagiakannya.

Ibu, bangunlah! Jangan bercanda! Katakan kau baik-baik saja! Katakan bahwa kau akan bertahan hingga aku berjalan di altar seperti yang kau inginkan, dan memberikanmu seorang cucu lucu yang akan memanggilmu Nenek.

Jantungku mencelus dengan suhu tubuh yang tiba-tiba mendingin. Seluruh ragaku bergetar seolah menanti kehancuran tiba. Dadaku sesak. Sangat sesak hingga membuat kakiku terasa begitu lemas, tidak bisa menopang tubuhku sendiri.

"Bu," lirihku pelan, bahkan nyaris menyerupai bisikan. Seluruh suaraku rasanya hanya tersekat di tenggorokan. "Kenapa harus secepat ini? Kita bahkan baru bertemu."

Aku terduduk di sisi ranjang Ibu, memegangi lengannya yang dingin. Kakiku seolah berubah menjadi jelly, tak bisa lagi menyangga bobot tubuhku sendiri. Perasaan kosong dan hampa itu menikam kuat, sehingga aku hanya mampu menatap jasad wanita cantik itu dengan nanar. Aku bahkan tak berpikir untuk memanggil dokter atau siapa pun. Aku hanya ingin berdua dengannya. Dengan Ibu yang selama ini kuanggap jahat. Dengan Ibu yang selama ini kutinggalkan dan berjuang sendirian dengan penderitaan fisik dan juga hatinya yang hebat.

"Maafkan Shalena, Bu ..." Aku memeluknya. Kali ini air mata menyeruak, saling berlomba-lomba keluar dari pelupuk mata, sebagai bentuk dari hancurnya hatiku.

"Kata orang aku anak haram, tapi aku tak apa selama masih ada dirimu. Kata orang aku tak memiliki ayah, tapi aku tak apa selama aku masih bisa melihatmu. Aku tak peduli orang mengatakan apa, asal kau di sisiku, Bu." Ada bongkahan batu besar yang menyekat tenggorokanku saat aku mengatakan kalimat itu. Sesak.

Kusentuh wajah Ibu dan membingkainya dengan kedua telapak tanganku yang bergetar. "Acuhkan aku seperti dulu, aku tak apa, asal kau masih menghirup udara yang sama denganku. Maki aku, aku tak mengapa, asal aku masih bisa menatap mata indahmu itu. Bu ..." Isakkanku semakin keras, seiring dengan ribuan sembilu yang menikam hatiku lagi dan lagi. Mengoyaknya, menghancurkannya hingga tak meninggalkan kepingan berarti.

Selama beberapa waktu, aku hanya bisa terisak. Pikiranku benar-benar kosong. Aku hanya ingin mencurahkan seluruh rasa sakit dan pilunya kehilangan dengan tangisan. Setelah aku merasa cukup puas menangis, aku menghela napas kuat-kuat.

"Apa ini pilihanmu, Bu? Apa kau bahagia dengan keputusanmu?" tanyaku lirih, meski tahu tak akan mendapat jawaban. Aku kembali terisak saat mendekatkan wajahku dan mengecup keningnya beberapa lama. "Jika ini pilihanmu, aku... ikhlas," bisikku bergetar, diakhiri dengan sebuah do'a yang kulantunkan di dekat telinganya.

Aku berdiri, berusaha menyangga tubuhku meski rasanya sangatlah berat. Dengan senyuman sendu, aku menatap wajah pucatnya.

"Jika ini yang terbaik, aku ikhlas. Kau tidak akan merasakan sakit lagi, Bu. Semoga Tuhan menempatkanmu di tempat terindah di sisinya," gumamku. Lantas mendaratkan kecupan di keningnya yang sudah dingin. Mengirim tanda cinta padanya untuk terakhir kali.

***

Pemakaman sudah selesai lima menit yang lalu. Namun aku masih duduk di sisi makam Ibu dengan tatapan nanar, tanpa air mata. Ya, air mataku tak lagi menetes setelah aku memanggil dokter. Aku telah melepas Ibu pergi, artinya jangan ada lagi yang ditangisi. Biarlah, aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain. Aku tidak ingin dikasihani, dan aku juga sadar ini adalah pilihan terbaik. Setidaknya, Ibu tidak akan menderita lagi. Setidaknya, dia akan tidur dengan tenang tanpa merasakan kesakitan yang selama beberapa tahun ini dia rasakan.

Seseorang memelukku dari samping. Aku tahu dia Gea. Lihat, yang selama proses pemakaman menangis bukanlah aku, tetapi Gea. Mungkin, orang lain yang melihat itu bisa saja mengira bahwa di sini yang anaknya Ibu bukanlah aku, melainkan adalah Gea.

"Kenapa kau tidak menangis, Bodoh?" hardik Gea padaku. Ia menyembunyikan wajahnya di bahuku sambil terisak keras. "Kau membuatku takut. Seharusnya kau menangis!"

Aku mengelus kepala Gea dan tersenyum. Aku sungguh mengerti apa yang Gea khawatirkan tentangku. Namun, aku benar-benar tidak ingin menangisinya sekarang, terlebih di hadapan para pelayat. "Ini pilihan Ibu. Ini juga jalan terbaik untuk beliau," balasku. Meski aku tak berbohong, bahwa sakit rasanya mengatakan hal demikian. Karena tentu saja aku juga merasa kehilangan.

"Shalena ...." Gea menatapku dengan kedua matanya yang memerah dan basah. Dia memang sahabat baikku. Ketika aku tidak bisa menangis, dia menggantikan aku untuk melakukan hal itu.

"Ibu tak membutuhkan air mata, Ge. Ibu hanya membutuhkan do'a," ucapku.

Aku berdiri, menatap makam Ibu lama sebelum meninggalkannya sendirian. Setelah itu, aku melangkah pergi dari sana. Kuharap Ibu bahagia di sisi-Nya. Selamat jalan, Bu. Aku selalu menyayangimu, meski tak lagi bisa menyentuhmu. Aku selalu di sisimu, meski hanya do'aku yang mengiringi langkahmu.

Aku tersenyum, menatap langit biru yang cerah. Meski sebenarnya, hatiku mendung tertutupi awan kelabu.

***

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang