8.3 Bentuk Cinta

908 36 0
                                    

"Van?" Aku mengeratkan genggaman tanganku pada lengan Evan seraya menatap sekeliling tempat yang Evan persiapkan. Aku menoleh padanya, berharap Evan akan mengatakan sesuatu, tetapi nihil. Evan hanya tersenyum kecil seraya menuntunku untuk duduk di meja yang sudah dipersiapkan dengan begitu romantisnya. Kelopak bunga mawar berserakan di mana-mana.

Ya Tuhan, ini baru ... Sempurna. Romantis, dan hanya ada aku dan Evan. Mungkin bintang yang ikut menyaksikan kebersamaan kami berdua.

Aku masih terpukau. Bahkan saat Evan sudah mendudukkan aku di kursi meja makan tersebut. Suasana hening dan terbuka ini membuatku tiba-tiba ingin menangis, astaga! Lihatlah, betapa ini sangat manis. Meja makan dengan sebuah kue tart berbentuk cinta. Lilin-lilin dan bunga mawar yang betebaran di sekeliling meja. Lalu, bintang yang seakan ikut merayakan momen terindah ini.

"Selamat ulang tahun, Sayang." Evan menatap kedua bola mataku dengan lembut. Lengannya menggenggam tanganku dengan penuh kasih. "Semoga apa yang kau cita-citakan, apa yang kau impikan jadi kenyataan."

Aku tersenyum. Lantas memeluk tubuhnya dengan erat. Aku terlalu bahagia sehingga sulit untuk berkata-kata.

"Aku mencintaimu," bisikku pelan.

Kurasakan Evan tersenyum, detak jantungnya terasa syahdu. "Aku lebih mencintaimu, Shalena, istriku," gumam Evan. Dan ketahuilah, rasanya aku ingin terlelap lama di pelukan pria ini. Suamiku, yang akan segera kucintai sedalam-dalamnya.

Kami melerai pelukan. Mendudukan aku di salah satu kursi. Lantas Evan menyalakan lilin di atas kue tart di meja. Kemudian ia menyuruhku memejamkan mata dan melakukan make a wish.

Harapanku begitu sederhana. Aku hanya ingin bahagia. Seperti saat ini. Tolong Tuhan, jangan hilangkan bahagiaku. Aamiin.

Kubuka kembali mataku dengan perlahan saat apa yang jadi harapanku selesai terucap tulus dari dasar hati. Dan kudapati Evan tengah menatapku dengan tatapan penuh cinta yang ia miliki.

"Apa do'amu?" tanya Evan setelah aku membuka mata.

Aku tersenyum menatapnya. "Hanya harapan sederhana perempuan. Tidak ada yang istimewa." Aku terkikik melihat tampang kecewa milik Evan karena aku tak memberitahukan apa yang jadi harapku. Wajahnya sungguh lucu, seperti Mr.Bean yang jadi kikuk karena ketahuan mencuri balon.

"Ya sudah," kata Evan. Ia lalu memasukan sebelah tangannya ke dalam saku tuxedo dan mengeluarkan kotak kecil berwarna merah. Ia membuka kotak itu dan ... Aku harus menahan napas saat sebuah kalung berbandul batu berlian merah berkilauan di hadapanku. "Untuk istri tercinta," lanjut Evan seraya tersenyum sangat manis.

"Astaga," bisikku pelan, masih berusaha menguasai diri agar tidak bereaksi berlebihan layaknya wanita-wanita kebanyakan.

Evan berjalan ke hadapanku. Wangi khas Evan yang selalu kukenali merasuk ke dalam indera penciuman saat Evan membungkuk untuk memasangkan kalung itu. Masih di posisi yang sama, berjongkok di hadapanku, Evan merangkum kedua sisi wajahku dan menatap mataku dengan jarak dekat. Ketahuilah, jantungku benar-benar bergetar syahdu saat Evan mengikis jarak di antara kami hingga bibir kami menempel satu sama lain.

"Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu," bisik Evan setelah melepas pagutan bibirnya.

"Kau sudah terlalu sering mengucapkannya," kataku. Tersenyum dan mengusap sisi wajahnya dengan ibu jari.

Demi Tuhan, aku tidak suka cerita romantis seperti Gea. Tapi saat ini? Rasanya jantungku meletup-letup oleh rasa bahagia saat Evan bersikap semanis ini.

"Aku tak peduli. Bahkan jika perlu, aku akan mengucapkan rasa cintaku setiap hari, setiap jam, setiap menit, atau mungkin setiap detik."

Aku terkekeh pelan. "Jangan mulai merayu. Kalau setiap saat kau mengatakan cinta, aku akan mual sepanjang hari." Evan ikut tertawa mendengar penuturanku, kemudian ia berdiri dan kembali duduk di kursinya.

"Potong kue?" tanyanya. Aku mengangguk. Lantas meraih pisau kue di atas nampan dan memotong kue itu perlahan. Satu potong kue kuletakkan di atas piring kecil di meja.

"Untukmu. Suamiku," bisikku, tersenyum.

Evan menaikkan sebelah alis. "Tidak ingin menyuapiku?" tanyanya. Aku terkekeh. Oh, dia sangat imut. Kusodorkan kue itu menggunakan garpu dan Evan menyambutnya. Memakan kue itu dengan manis, tak mengalihkan pandangannya sedetik pun dari wajahku. Ia lalu meraih garpu di tanganku. Kini giliran dia yang menyuapiku.

Semoga selamanya seperti ini ...

Acara malam itu kami akhiri dengan makan makanan malam yang disiapkan pelayan. Setelahnya, kami memutuskan untuk pulang. Malam hampir larut.

"Kau bahagia?" Evan mengelus puncak kepalaku. Sedangkan aku memeluk lengannya dengan mesra.

"Yang kaulihat?" tanyaku balik.

"Kau bahagia," balasnya, kemudian mengecup puncak kepalaku.

Aku tersenyum hingga kemudian ... "Aw!" pekikku. Melirik seorang gadis bergaun merah yang menatapku dengan tatapan membunuhnya yang kentara.

"Dasar pelakor!"

[][][]

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang