2.2 Kumohon!

1.4K 59 0
                                    

Taksi online yang kupesan sudah menunggu di depan rumah sakit. Dengan segera aku masuk ke dalamnya. Sekitar setengah jam, aku sampai di depan gedung apartemen yang kumiliki. Di depan lobi, kulihat Evan tengah berdiri, lalu ketika pandangannya bertemu dengan pandanganku, lelaki itu segera mendekat.

"Shalena, aku merindukanmu!" Tanpa diduga Evan memelukku dengan erat, seolah tak ingin aku menjauh.

"Van, kita sedang di lobi. Tidak enak jika ada yang melihat," gumamku seraya melepas pelukan Evan dengan paksa. Padahal sebenarnya apa peduliku? Toh, aku bahkan sering melakukan hal yang lebih daripada pelukan di depan beberapa orang. Itu hanya alibi supaya aku terlepas dari perasaan tak karuanku saja.

Evan menatapku dengan sendu, lantas menarik lenganku untuk menuju kamar apartemenku di lantai tujuh.

"Van, kau kacau sekali," gumamku sesaat setelah keluar dari lift. Jelas saja, Evan yang kukenal sejak empat bulan lalu adalah Evan yang tampan, bersih, dan rapi, bukan Evan sekarang yang rahangnya ditumbuhi bulu-bulu halus, rambut acak-acakan, kantung mata menghitam dan kemeja biru yang dua kancing teratasnya terbuka dengan lengan kemeja digulung hingga ke sikut.

Evan menarik pinggangku dan memeluknya dengan erat, tanpa sepatah kata pun yang terlontar dari bibirnya. Aku hanya bisa menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Hingga akhirnya kami sampai di dalam apartemen yang kubeli satu tahun lalu.

Aku membiarkan Evan duduk di sofa besar tempat biasa kami menghabiskan waktu. Yah, sebenarnya Evan adalah pelanggan tetapku. Pelanggan yang entah mengapa tetapi hubungan kami sangat dekat jika hanya dikatakan sebagai partner di tempat tidur. Lebih dari tiga kali dalam seminggu Evan datang kemari hanya sekadar membawakan aku makanan atau mengajakku keluar. Kami juga bercerita tentang kebiasaan kami masing-masing, tentang apa yang kami suka dan tidak sukai. Yah, aku pikir semua baik-baik saja, sampai tepat seminggu lalu, tiba-tiba saja lelaki itu menyatakan ia mencintaiku. Jelas aku tak ingin melibatkan perasaan apa pun dalam hubungan ini. Aku hanya menganggapnya sebagai pelanggan tetap sekaligus teman baikku, tak lebih.

"Hanya ada minuman ringan ini. Aku belum sempat belanja," gumamku sambil meletakan dua kaleng minuman ringan di meja.

Evan hanya menganggukkan kepala beberapa kali. Dia jadi pendiam, bukan Evan yang kukenal beberapa waktu lalu. Evan yang kukenal biasanya akan berceloteh panjang lebar, tertawa dan menggodaku.

"Shalena, apa benar tidak ada kesempatan sedikit pun untukku?" tanya Evan lirih. Sorot matanya menunjukkan kesedihan, keterpurukan dan putus asa. Apa benar Evan mencintaiku?

Aku melengos, menghindari tatapan matanya yang hanya menghadirkan kegamangan dalam hatiku.

"Jawab aku, Shalena. Aku mohon ... Aku mencintaimu!" Evan berjongkok di hadapanku dengan tangannya yang menggenggam jemariku dengan lembut.

Aku menatapnya lalu melirih, "Van ... Kau berhak mendapatkan wanita mana pun yang jauh lebih baik dariku. Kau pewaris tunggal perusahaan keluarga Triwijaya, banyak gadis yang menginginkan berdiri di sampingmu!" Aku melepaskan genggaman tangannya, meski sebenarnya aku merasa kehilangan akan hal itu.

Evan berdiri, lalu menatapku dengan sorot mata yang sarat akan kepedihan. "Dengar, Shalena, aku tidak peduli pada wanita mana pun di luaran sana. Aku hanya ingin kamu, Shalena! Hanya ingin kamu!" geramnya tertahan.

Aku ikut berdiri, berjalan ke arah balkon dan berdiri di sana. Tatapanku tertuju pada jalanan --yang terlihat kelap kelip dari atas sini-- dengan nanar.

"Aku cuma seorang pelacur, Van. Pergilah, cari cinta yang lebih layak dariku. Cari gadis baik-baik yang lebih pantas."

Suara langkah Evan menggetarkan gendang telingaku. Dan berdirilah sosok Evan di sisiku sekarang. Kepalaku terangkat untuk menatap wajah tampannya. Ternyata ia juga tengah menatap lurus pada jalanan di bawah sana.

"Kau tahu, Shalena, cinta tak pernah bisa memilih. Meski banyak wanita di luaran sana yang jauh lebih cantik, bahkan jauh lebih baik, jika hatiku tetap menginginkanmu, aku bisa apa?" Evan menatapku, pun denganku yang menatap bola mata cokelatnya.

"Tapi aku tidak bisa, Van ..."

"Sekali kesempatan, Shalena. Sekali, biar kubuktikan bahwa aku laki-laki yang layak kau cintai," ucap Evan dengan teguh.

"Kau selalu layak untuk dicintai, Van. Tapi di sini, akulah yang tak layak. Jangan menyudutkan aku seperti ini, Van ..."

"Dan aku akan buktikan bahwa kamu adalah wanita yang layak aku cintai, Shalena. Sangat layak dan berhak!" kukuhnya.

Aku terdiam sejenak. "Aku cuma pelacur, Van."

"Dan berhentilah dari pekerjaan itu."

"Tapi--"

"Kau jadi istriku. Itu artinya semua keperluanmu aku yang tanggung."

Aku menatapnya dengan tak percaya. Istri? Itu artinya ... "Jangan gegabah, Van. Keluargamu tidak akan sudi memiliki menantu seorang pelacur! Lebih baik lupakan perasaanmu itu!"

"Kita bisa menikah tanpa sepengetahuan keluargaku jika itu yang kau takutkan, Shalena."

Aku menatapnya dengan tak percaya. Menikah, tanpa sepengetahuan keluarganya? What the...

"Tidak! Lebih baik kau pergi sekarang, Van. Aku butuh sendiri. Jangan ganggu aku," balasku sambil melengos, tak ingin melihat sorot kecewa yang terpancar di matanya.

Aku benar-benar tak bisa untuk menjalin hubungan asmara. Menjalin hubungan pertemanan saja sulit. Sejauh ini aku hanya memiliki Gea dan Barry, selebihnya tidak ada yang lain lagi. Bahkan, dua tahun di rumah bordil tak lantas membuatku bisa memiliki banyak teman. Aku benar-benar kesulitan dalam berbaur. Aku takut. Takut entah untuk apa. Berdekatan dengan orang asing hanya menimbulkan rasa cemas dan kewaspadaanku. Bahkan Madam Liya saja tak bisa aku percayai seutuhnya.

Aku mungkin aneh, tetapi itulah kenyataannya. Di balik sosok tegas dan angkuhku, sesungguhnya itulah alasan utamanya, aku takut.

"Shalena ..." Evan melirih.

"Pergi, Van!" teriakku. "Kau tahu pintu keluarnya di mana, kan!?"

Terdengar helaan napas berat dari Evan. Aku tahu ia terluka, tetapi apa boleh buat? Ini yang terbaik untukku dan juga untuk Evan. Kebersamaan kita hanya akan menghancurkan hati kita sendiri nantinya. Jadi biarlah ...

"Aku masih akan terus berjuang untukmu, Shalena. Aku akan berjuang!" gumamnya sebelum langkah kaki pria itu terdengar semakin jauh kemudian menghilang.

Aku menengadah. Menatap langit gelap yang hanya memiliki rembulan tanpa bintang. Ia sepertiku, sendiri di tengah kegelapan. Tak ada teman untuk berbagi, terasingkan dan sepi adalah hidupku.

Dadaku tiba-tiba saja sesak, perutku bergejolak dan dunia rasanya berputar. Dengan segera, aku berjalan ke dalam, meski sempoyongan. Kuambil ponsel yang terletak di meja ruang tamu, kemudian menekan iKON call pada sebuah kontak bernamakan Barry Raditya.

"Shalena?" Suara serak khas bangun tidur menyahut setelah deringan ketiga.

"Bar, apartemenku. Sekarang. Aku butuh obat!" ucapku terbata-bata. Kemudian menutup panggilan itu segera karena jika tidak, Barry pasti akan bertanya banyak hal.

Aku membaringkan tubuhku di atas sofa. Memejamkan mataku yang rasanya sangat perih. Aku rasa, penyakitku kambuh. Aku butuh Barry sekarang. Aku butuh obat.

***

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang