11.2 Pagi Pertama Tanpa Evan

976 32 0
                                    

"Aku akan menceraikan Angela."

"Jangan gila, Van! Jangan buat aku membencimu. Angela wanita baik," ucapku.

Entah harus dengan apa lagi aku membuat Evan pergi dari hidupku. Aku mencintainya, tetapi tak bisa memaafkan, dan tidak bisa untuk melihat wajah ceria Angela murung. Aku ... entahlah. Aku merasa terlalu mengenal Angela, padahal kita hanya pernah bertemu beberapa kali dan berbicara hanya sekali. Lagipula, semalaman aku sudah mati-matian meredam sakit dan melupakan Evan. Tapi ketika beberapa jam lalu Evan datang dengan tampang menyedihkannya ke rumah Gea, aku sungguh tak tega mengusirnya, dan perasaanku, ia semakin membuncah hebat. Ingin rasanya memeluk Evan, menumpahkan seluruh airmata kesedihan dan lelahku. Tapi aku tak bisa. Aku tak ingin. Aku takut tak bisa lagi melepaskan pelukan hangatnya.

"Tapi aku mencintaimu, Shalena. Aku tidak bisa kehilanganmu. Aku bisa mati."

"Kau bisa, Van! Sebelum ada aku, kau baik-baik saja. Dan sekarang pun, ketika aku memilih pergi, kau harus tetap baik-baik saja, seperti saat kita belum bertemu," balasku dengan tegas. Menyembunyikan kegetiran hatiku yang kian menjadi begitu menatap mata sayunya.

"Shalena ..."

"Sekarang pergi, Van. Aku mau istirahat."

"Kumohon ..."

"Kubilang pergi, Van!" teriakku keras-keras.

Evan diam sejenak, sampai akhirnya ia mengangguk kecil. Mata sayunya tak lepas dari mataku yang menatapnya tajam. Evan mengangkat bokong dari sofa panjang hitam yang didudukinya.

"Aku akan kembali nanti, untuk menjemputmu," gumam Evan dengan senyum getir di bibirnya.

Ya Tuhan, tolong! Jangan tunjukkan raut wajah itu. Aku tidak ingin lemah.

"Jangan kembali, Van. Aku tidak akan lagi pulang. Berhentilah mencariku, jika kau mencintaiku."

"Shalena ..."

"Jika kaumencoba mencariku lagi, akan kupastikan yang kautemui adalah mayatku," gumamku datar.

Tanpa ingin mendengar jawaban Evan, aku berbalik meninggalkannya dengan perasaan hancur berkeping-keping.

Ketahuilah, tidak ada wanita yang ingin patah hati dengan memilih melepaskan cintanya. Tapi posisiku sekarang sulit. Aku ... aku pengecut untuk menghadapi kenyataan terperih lagi. Jika di awal aku pernah bilang bahwa aku bukan lagi Shalena yang dulu, bukan Shalena yang lemah, nyatanya itu bohong. Justru aku lebih lemah dari sebelumnya. Aku pengecut.

"Shalena ..."

Kuhampiri Gea yang menatapku dengan khawatir. Kupeluk tubuh Gea dengan bahu berguncang. Aku benar-benar merasa, kepengecutanku bertambah berkali-kali lipat. Dan aku tak sanggup.

[][][]    


     Mentari perlahan sudah kembali ke tempat perisrirahatannya. Sedangkan aku, tidak ada yang aku lakukan sejak kedatangan Evan tadi pagi, selain dari menangis di pelukan Gea dan termenung sendiri di atas ranjang sampai saat ini.

Dengan lemah, kubaringkan tubuhku. Menatap nyalang langit-langit berwarna putih, yang warnanya begitu jauh dengan suasana hatiku yang sedang kelabu.

Tuhan begitu tega membiarkan kisah hidupku sekelam ini. Aku bahkan hanya sekejap merasa bahagia dan dicintai, sebelum akhirnya Tuhan mengganti cinta dan bahagia itu dengan luka tak berujung.

"Dek, kau--"

Aku menoleh ke pintu, di mana seorang pria barusan berbicara keras sampai akhirnya ia berhenti begitu tatapan kami bertemu dan saling mengunci satu sama lain.

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang