9.2 Istri Kedua?

1.1K 45 0
                                    

"Sayang, jangan dengarkan gadis itu. Ayo kita pulang!" Evan menatapku dengan penuh permohonan. Tangannya menarik tanganku, tetapi aku menepisnya. Aku ingin mendengar semuanya. Semua, meski pasti akan menyakitkan.

     "Biarkan aku di sini sampai aku tahu semua kebenarannya," desisku datar.

     "Sayang ..."

     "Diam, Van!" ucapku tajam. Aku lantas menghampiri Angela. "Kau Angela?" tanyaku.

     Gadis bernama Angela itu mengerjap, kemudian menatapku dengan tatapannya yang lugu. Ya Tuhan, jika apa yang aku pikirkan benar, aku tidak akan sanggup untuk egois mempertahankan Evan. Wajah dan tatapan mata Angela memang benar-benar seperti malaikat.

     "Ya, aku ... Angela," jawab Angela ragu. "Angel mohon, ini tidak seperti yang kaupikirkan. Angel dan Kak Evan, kami ..."

     "Mereka sudah menikah, dan kau merebut Kak Evan!" Kutatap Sesilia dengan tajam saat gadis itu memotong pembicaraan Angela.

     "Aku bicara pada Angela. Bukan padamu. Jadi diamlah!" desisku. Sesilia terdiam, kemudian menarik lengan Angela untuk meninggalkan tempatnya berdiri. Tapi aku lebih dulu meraih tangan Angela yang lain. "Biarkan kami menyelesaikan urusan kami berdua," ucapku yang kemudian membawa Angela pergi dari sana. Mengabaikan Evan yang berusaha menahanku. Aku perlu menyelesaikan ini.

     Kuhentikan taksi yang lewat di depan bangunan hotel ini. Lantas mengajak Angela masuk ke dalamnya.

     "Kau mencintai Evan?" tanyaku setelah hening beberapa lama di dalam taksi.

     Angela menatapku sekilas, kemudian menunduk lagi seperti yang ia lakukan sebelumnya. Jemarinya saling bertautan satu sama lain.

     "Diam berarti 'ya'," lanjutku saat tak ada jawaban yang terlontar dari mulut Angela.

     "Tidak!" sergah Angela. "Oh, maksud Angel ... Angel ..."

     "Kau mencintainya, Angela," jawabku. Entah mengapa rasanya sesak ketika aku mengatakan hal itu. Astaga, tentu saja sesak. Aku sedang membicarakan suamiku sendiri bersama seorang wanita yang katanya juga istri Evan.

     Hening lagi sampai taksi akhirnya berhenti di restaurant Adzana. Sengaja aku memilih restaurant ini, karena yang kutahu restaurant ini cocok untuk membicarakan hal-hal privacy. Selain dari suasanya yang tenang, meja yang ada di restaurant ini juga disusun dengan jarak lumayan jauh satu sama lain.

     Meja nomor sepuluh, terletak di paling pojok. Aku duduk di sana bersama Angela dengan segelas teh hijau di hadapanku dan satu mug hot chocolate di depan Angela.

     "Kita sama-sama wanita, Ngel. Jujur aku menikah dengan Evan dua bulan lalu, aku tidak tahu Evan sudah menikah sebelumnya, dan aku ... aku mencintai Evan," kataku.

     Tanpa kuduga, Angela tersenyum. Sungguh bukan ekspresi yang sebelumnya aku duga. Kukira Angela akan marah, atau setidaknya menangis, atau mungkin bersikap murung tanpa senyuman. "Angel tahu. Kalian saling mencintai," jawabnya.

     "Ngel?" tanyaku tak percaya.

     "Pernikahan Angela dan Kak Evan tidak didasari cinta. Kak Evan menikahi Angela karena terpaksa."

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang