"Evan ingin menikahimu?" tanya Barry dengan tatapan tak percaya.
Mendadak, atmosfer terasa panas dan sesak, padahal ini baru pukul setengah tujuh pagi. Entahlah, membahas masalah ini tiba-tiba membuatku merasa tak nyaman dan ...
"Lalu kenapa kau menolaknya?"
Uh. Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada Barry. Aku sendiri bingung dengan perasaanku yang ambigu ini.
"Memangnya aku harus apa? Menerima Evan? Kau gila!?"
"Tentu saja seharusnya kau menerimanya."
Aku menuangkan kembali teh ke dalam gelasku yang isinya sudah tinggal satu perempat. Menyeruput teh hangat itu dan kembali menatap Barry yang juga masih menatapku datar.
"Aku tidak ingin melibatkan orang lain ke dalam hidupku lagi, Barry. Cukup hanya kau yang selalu aku repotkan," balasku setelah menyimpan gelasku di atas meja kayu berwarna putih.
"Apa maksudmu? Kau gadis yang mandiri, mana mungkin kau akan merepotkan."
"Tapi aku merepotkanmu!" balasku cepat.
Barry diam beberapa saat. Menatap lekat ke kedalaman mataku kemudian tersenyum. Senyuman tulus yang kuketahui sampai ke matanya.
"Aku tidak pernah merasa direpotkan apa pun karenamu?"
"Itu karena kau terlalu baik, Bar!" Aku menatapnya sarkastis.
Barry mengambil jaketnya yang tersampir di kursi, beserta tas jinjing yang semalam ia bawa. Kemudian lelaki itu mendekat ke arahku.
"Aku tidak memaksa kau menerima Evan. Tapi pikirkanlah baik-baik. Bukannya hanya Evan yang membuatmu aman tanpa merasa cemas saat di sisinya, ya kan?" ucapnya seraya mengelus kepalaku dengan sayang.
Kupejamkan mata, merasai sentuhan lembut yang Barry berikan. Andai aku boleh memilih, aku mungkin lebih memilih hidup bersama Barry. Tahu kenapa? Karena dia satu-satunya orang yang bisa menenangkan aku dalam keadaan apa pun. Tapi, Barry terlalu baik. Barry terlalu sempurna untuk dijadikan sebagai pasangan hidup, terlalu berbanding terbalik dengan diriku. Sedangkan Evan? Lelaki itu ... Aku menyukainya. Dia sosok idaman bagi wanita mana pun. Tapi, semua kembali lagi: aku yang tidak sempurna.
"Jangan berpikir terlalu keras. Biarkan berjalan seperti seharusnya. Jangan terlalu banyak berfikir, GERD-mu bisa kambuh." Barry tersenyum, aku membalas senyumnya meski masih kikuk.
"Baiklah," jawabku akhirnya.
"Ya sudah. Aku sudah menyimpan obatmu di laci kamar. Kau benar-benar harus kembali meminumnya, Shalena. Bagaimana pun obat itu harus terus dikonsumsi sebelum aku mengintruksikan untuk berhenti."
Aku mengangguk sekilas, kemudian Barry pamit pulang karena jam sembilan dia harus sudah ada di klinik. Aku bersyukur bertemu dengannya. Dia bukan hanya dokter untukku, tapi sahabat yang bahkan rela menungguiku semalaman jika aku berada dalam kondisi seperti semalam. Ya meski terkadang aku merasa tidak enak karena jadi prioritasnya.
Dia, Barry-ku. Barry Raditya. Dokter muda terbaik di kota ini. Dokter yang kutemui dua tahun lalu, ketika insiden aku pingsan di depan mobilnya yang hampir menabrakku. Selama perkenalan kami, aku rasa dia orang yang sedikit tertutup di balik sikap perhatiannya kepada orang lain.
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
GALABA
ChickLit#155 in Chicklit (1 Mei 2018) #186 in Chicklit (29 April 2018) Private Acak. Follow sebelum baca❤ [][][] Blurb: Shalena Kelsen, yang sejak lahir tak pernah bisa merengkuh cinta. Lahir dari seorang wanita bernama Melia, yang dicampakkan pacarnya...