13. Jangan Setengah-setengah Jika Ingin Merelakan

1K 44 0
                                    

Kepulan asap dari atas panci menebarkan aroma kaldu yang begitu kental. Siapa pun yang mencium aromanya, pasti akan kelaparan. Ck, aku tersenyum sendiri. Lalu tiba-tiba aku diam. Tubuhku membeku dengan begitu sempurna saat sebuah lengan kokoh melingkari perutku dengan posesif. Bukankah orang yang selalu melakukan itu adalah Evan? Tiba-tiba saja hatiku berdenyut nyeri. Merasakan pelbagai perasaan yang menikam jantungku dengan sebegitu kuatnya. Antara rindu, marah, dan kecewa yang masih besar.

Pundakku terasa berat. Sudah kupastikan itu adalah ulah Evan yang menyandarkan kepalanya di atas bahuku.

Aku ingin menyingkirkannya. Hatiku mengatakan bahwa ini salah. Aku tidak boleh lemah akan sikap Evan. Evan memiliki Angela. Sudah sepantasnya aku merelakan Evan. Dan lagipula, pengadilan sedang memproses perceraian kami, kan? Ini sungguh salah, tetapi aku tak bisa menghentikannya. Aku ... aku merindukannya. Sangat banyak.

"Van," lirihku pelan. Bahkan itu terdengar seperti bisikan.

Kusentuh lengannya. Mengusapnya dengan penuh perasaan sehingga rasanya aku ingin menangis.

Ini lengan lelaki yang dulu selalu memelukku. Lengan lelaki yang senantiasa melindungiku dari bahaya terbesar sekali pun. Lengan lelaki yang mengusap punggungku hingga aku terlelap di pelukannya.

Aku membalikkan tubuhku. Tapi ... Evan? Di mana Evan? Mengapa Evan hilang? Apa Evan benar-benar meninggalkan aku?

Air mata mengalir perlahan dari sudut mataku. Ternyata aku hanya berhalusinasi? Aku tersenyum miris. Sepertinya aku akan gila. Kututup wajahku dengan telapak tangan. Merasa bahwa aku tak berdaya, sungguh pecundang.

"Shalena!" pekikkan keras itu menyentakku.

Sesaat tubuhku melayang hingga ... Bugh! Kepalaku mengenai sesuatu yang keras dan sebuah tangan melingkari kepalaku.

Pelukan ini, aku merasa ... Dejavu.

"Evan?" gumamku.

Kuangkat kepalaku untuk melihat orang yang saat ini tengah memelukku dan bukan Evan tapi ... Keyshon?

Aku berdeham, sehingga lelaki itu melepaskan pelukannya. Ia menatapku dengan sorot mata penuh amarah.

"Sebenarnya apa maumu, ha?" bentaknya. Aku bergeming, tak mengerti dasar kemarahannya sama sekali. "Kalau kauingin mati, jangan di rumahku!" lanjutnya lagi.

"Mati?" tanyaku bodoh.

Keyshon menunjuk ke tempat kompor. "Astaga, supku!" pekikku, menghampiri panci di atas kompor yang sudah berubah gosong.

Apakah selama itu aku melamun?

Kutatap Keyshon dengan penuh penyesalan. "Maaf, aku tidak sengaja," gumamku pelan.

"Jangan setengah-setengah jika ingin melepaskan!" ujar Keyshon dingin seraya berjalan meninggalkan aku.

Sedangkan aku membisu. Mencerna baik-baik apa yang Keyshon ucapkan.

[][][]

"Apa tidak akan bahaya jika kau tinggal di Jenewa sendirian?" tanya Gea, saat aku mengutarakan maksudku untuk pergi ke Jenewa, Swiss, mengadu nasib di sana.

"Ge, aku akan baik-baik saja. Di sana aku akan belajar dan mulai meniti karier," balasku. "Lagi pula, tiga hari saja sudah cukup untukku merepotkanmu dan juga kakakmu di sini."

Gea menarik lenganku dan menggenggamnya. "Kau tidak merepotkan, Shalena. Kau temanku." Gea menatapku dengan mata teduhnya. "Kalau kau lupa, kau lebih berjasa atas hidupku. Aku jauh lebih merepotkanmu saat aku sakit. Kau pernah bekerja mati-matian untukku."

GALABATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang