Aku tak bisa lagi mengatur pernapasanku dengan baik setelah lima menit berlalu. Rasanya sangat sesak sehingga aku rasa tak lagi tersedia pasokan oksigen di atmosfer. Kepalaku berdentum nyeri disertai isi perut yang semakin bergejolak. Aku tak tahan lagi sehingga aku memuntahkan isi perutku di lantai. Aku membenci ini. Sangat benci saat aku terlihat begitu menyedihkan.
Sepuluh menit kemudian, suara suara langkah kaki terdengar. Itu pasti Barry. Ah, syukurlah, lelaki itu datang tepat sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri.
"Bar, obatku ..." ucapku dengan susah payah. Tanganku menggapai-gapai ke arahnya.
"Shalena, Ya Tuhan ... Bertahanlah!"
Aku benar-benar tak bisa mencerna apa pun lagi sekarang. Tenagaku seolah terserap habis tak tersisa.
"Minumlah!" Barry menyodorkan sebuah pil berwarna putih yang bias aku minum saat dalam keadaan seperti ini.
Dengan susah payah, aku meminum pil itu beserta segelas air yang entah kapan Barry ambil. Akhirnya obat itu berhasil masuk ke dalam kerongkonganku.
Aku menatap Barry dengan sayu, mengisyaratkan kata maaf sekaligus terimakasih dengan kedipan kedua mataku sekilas.
"Ini pertama kalinya lagi sejak kau kambuh setelah pertemuan terakhir dengan ayah tirimu itu, Shalena. Dan itu sudah lebih dari enam bulan lalu. Kenapa bisa seperti ini lagi sekarang?" Barry berdiri dengan dua tangan di masukan ke dalam saku celana cokelatnya --sambil menatap penuh selidik terhadapku yang kini berbaring. Aku tak menjawab. Mataku sungguh berat, sehingga aku lebih memilih memejamkan mata daripada mendengar celotehan Barry yang kuyakin tidak akan pernah ada habisnya jika itu berkenaan dengan kesehatanku.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus memiliki pasien sekaligus teman sekeras kepala dirimu?" Sayup-sayup kudengar suara frustasi Barry. Aku hanya tersenyum kecil tanpa mau repot membuka mata. Beberapa detik kemudian, tubuhku terasa melayang, dan aku tahu Barry menggendongku. Dengan segera aku merangkulkan tangan lehernya dan menenggelamkan kepalaku di dada bidangnya, tempatku bersembunyi untuk menangis.
Setelah beberapa saat, tubuhku akhirnya sampai di atas kasur empuk yang nyaman. Sedikit membuka mata, aku tersenyum pada Barry yang posisi wajahnya masih dekat dengan wajahku.
"Terimakasih," gumamku setelah mengecup sekilas bibir Barry. Sahabat sekaligus dokterku yang pendiam tapi akan mendadak cerewet jika mengetahui aku tak menjaga kesehatan.
Setelahnya, aku kembali memejamkan mata, kali ini benar-benar terlelap ke dalam alam bawah sadar.
[][][]

KAMU SEDANG MEMBACA
GALABA
ChickLit#155 in Chicklit (1 Mei 2018) #186 in Chicklit (29 April 2018) Private Acak. Follow sebelum baca❤ [][][] Blurb: Shalena Kelsen, yang sejak lahir tak pernah bisa merengkuh cinta. Lahir dari seorang wanita bernama Melia, yang dicampakkan pacarnya...